Peternak Menjerit: Sanggupkah Pemimpin NTB Kedepan Selesaikan Polemik Perunggasan

Oleh: YUDIATNA DWI SAHREZA Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Mataram 2024
Oleh: YUDIATNA DWI SAHREZA
Sekretaris Jenderal
Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Mataram 2024

Salah satu sektor yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai usaha di masa depan di Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah sektor peternakan. Potensi pasar yang menjanjikan ada pada sektor perunggasan. Ini disokong oleh permintaan yang tinggi di kalangan penduduk NTB. Lebih banyak minat terhadap ayam, telur dan produk derivatifnya sebagai sumber utama protein sehari-hari. Produk-produk turunan tersebut memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan daging sapi dan mudah ditemukan di berbagai tempat. Karena alasan tersebut, sektor peternakan unggas, terutama ayam petelur diharapkan akan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat NTB.

 

Meskipun begitu, problematika dalam industri peternakan perunggasan di NTB masih belum sepenuhnya terselesaikan. Baru-baru ini, berdasarkan Liputan Khusus NTBsatu.com pada tanggal 24 Juli 2024 tentang kegagalan pecah telur proyek Rp 44 Miliar ayam petelur Disnakeswan NTB menandakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) tidak serius dalam penanganan peningkatan kesejahteraan petani maupun peternak. Dalam proyek tersebut terdapat sejumlah titik lokasi yang bermasalah, mulai dari segi kandang tanpa ternak, kandang tidak ditemukan dengan sebaran lokasi sekitar 103 lokasi hingga persentase keberhasilan 60 persen dirasa tidak sesuai dengan yang di lapangan.

Bantuan awal program tersebut terdiri dari pengadaan ternak sejumlah 500 ekor ayam ras petelur fase pullet, serta pengadaan kandang dan pakan. Apabila dianalisis lebih dalam, dengan 500 ekor ayam ras petelur fase pullet, peternak akan mendapatkan keuntungan bersih setiap harinya sekitar Rp 150.000 – Rp 200.000 jika harga pakan dan harga telur stabil. Sedangkan jika mengacu pada kerugian dengan populasi 500 ekor bagi peternak mencapai Rp 5.000.000 per bulan, jika harga pakan jagung naik hingga Rp 9.000 per kilogram dan harga telur merosot. Imbas dari kerugian ini, peternak biasanya akan menjual ayam petelurnya sebagai pengganti kerugiannya.

Disisi lain, ternyata sasaran dari program ini tidak hanya peternak atau petani saja, tetapi  tukang ojek hingga ASN juga mendapatkan program ini. Sehingga, Pemprov NTB terlihat tidak serius dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring serta pembinaan dalam program ini. Alih-alih ingin mensejahterakan masyarakat melalui program NTB GEMILANG dengan melakukan industrialisasi pertumbuhan ekonomi inklusif yang bertumpu pada pertanian dan peternakan, tetapi kenyataan yang dilakukan malah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Seharusnya, Pemprov NTB memiliki database kelompok ternak terutama di bidang perunggasan untuk keperluan program semacam ini untuk menghindari target program tidak tepat sasaran.

Hal ini membuat masyarakat menilai bahwa pemerintah memberikan program hanya untuk melunturkan kewajiban saja tanpa adanya dampak berkelanjutan untuk masyarakat.

Melihat fakta dan permasalahan tersebut, maka diperlukan adanya regulasi kebijakan baru yang dapat mengcounter permasalahan pada sektor peternakan khususnya bidang perunggasan di NTB. Ini menjadi tugas utama yang harus direncanakan dengan baik oleh calon pemimpin NTB kedepannya, sehingga permasalahan-permasalahan yang sama tidak terulang kembali.

Oleh karena itu, dalam penyusunan arah Rencana Program Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTB, harusnya ditekankan pada aspek terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan asas keterbukaan untuk menghindari terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di NTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *