
Penulis: Andi Pramaria – Widyaiswara Ahli Utama Balatkop UKM NTB
PENDAHULUAN
Pemerintah sudah menetapkan Program Koperasi Merah Putih sebagai kebijakan nasional dengan target pembentukan koperasi di setiap desa dan kelurahan. Tidak kurang 80.000 unit sudah terbentuk secara legal yang dibuktikan dengan adanya Badan Hukum. Di NTB sendiri koperasi dibentuk sebanyak 1.166 unit pada setiap desa dan kelurahan. Namun, muncul kritik bahwa koperasi ini dibentuk secara top-down, minim partisipasi masyarakat, serta berisiko menjadi “koperasi papan nama” yang tidak memiliki usaha nyata. Hal ini sudah banyak diberitakan banyak koperasi Merah Putih yang langsung tutup pasca dilakukan launching.
Agar tidak sia-sia, program ini perlu diarahkan pada pemberdayaan ekonomi desa berbasis potensi lokal dan dikelola secara partisipatif. Potensi lokal berarti seluruh potensi yang ada di desa dan kelurahan dapat dikelola oleh koperasi mejadi potensi ekonomi. Partisipatif, memberi makna bahwa pengelolaan koperasi harus dilakukan bersama dengan menggali partisipasi masyarakat.
KRITIK KOPERASI DESA/KELURAHAN MERAH PUTIH
Kritik terhadap Koperasi Desa Merah Putih, pada umumnya menyangkut 8 pokok utama yang sering timbul, yaitu :
1. Top-Down, Bukan Bottom-Up
• Koperasi seharusnya lahir dari inisiatif dan kebutuhan masyarakat.
• Program ini justru datang dari atas, dibentuk serentak di desa/kelurahan tanpa proses partisipatif.
• Akibatnya, sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (tanggung jawab) dari anggota rendah.
2. Terlalu Tergesa-Gesa
• Target membentuk 80.000 koperasi dalam waktu singkat membuat proses sosialisasi dangkal dan tidak dapat dipahami secara utuh.
• Masyarakat tidak diberi ruang untuk belajar apa itu koperasi, bagaimana cara kerja, dan manfaatnya.
• Banyak yang hanya ikut-ikutan karena iming-iming dana Rp3 miliar dan janji keuntungan besar.
3. Hilangnya Jati Diri Koperasi
• Koperasi bukan sekadar “badan usaha” biasa, melainkan gerakan sosial-ekonomi dengan prinsip: demokrasi, kemandirian, keadilan, dan kebersamaan.
• Program yang dipaksakan membuat koperasi hanya menjadi alat proyek pemerintah, bukan gerakan rakyat.
4. Risiko Fiktif dan Mati Suri
• Jika tidak berbasis potensi nyata desa, koperasi hanya jadi formalitas.
• Besar kemungkinan koperasi akan mati suri setelah dana habis, atau hanya tinggal papan nama.
• Pengalaman masa lalu menunjukkan: koperasi yang lahir karena proyek biasanya tidak berumur panjang.
5. Fokus Usaha yang Tidak Jelas
• Koperasi Merah Putih belum menjelaskan secara detail jenis usaha apa yang akan dijalankan.
• Tanpa analisis potensi desa, sulit menentukan apakah koperasi bergerak di simpan pinjam, produksi, atau distribusi.
• Risiko: koperasi tumpang tindih dengan BUMDes, BUMD, atau swasta.
6. Pembiayaan Besar, Output Tidak Terukur
• Biaya pembentukan dan pendampingan koperasi ini sangat besar.
• Namun, belum jelas bagaimana indikator keberhasilan diukur: apakah jumlah koperasi, omzet, kesejahteraan anggota, atau kontribusi ke desa.
7. Mengabaikan Alternatif Lembaga Desa
• Desa sebenarnya punya pilihan lain untuk mengelola ekonomi: BUMDes, koperasi, kemitraan swasta, atau usaha kelompok.
• Program ini seolah hanya mengarahkan masyarakat untuk memilih koperasi, tanpa memberi ruang berpikir kritis.
8. Potensi Politik dan Simbolik
• Nama “Merah Putih” sarat simbol nasionalisme, tapi bisa juga dipakai untuk kepentingan politik.
• Ada kekhawatiran koperasi ini lebih banyak jadi proyek citra dibanding solusi nyata.
SARAN KOPERASI DESA/KELURAHAN MERAH PUTIH
Meskipun kritik terhadap Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih cukup banyak, namun agar program ini tidak sia-sia dapat dilakukan perbaikan sambil jalan.
1. Pendekatan Partisipatif Pasca-Pembentukan
• Walaupun koperasi sudah ada, tetap bisa dilakukan pemetaan potensi desa (komoditas unggulan, kebutuhan masyarakat, rantai pasok).
• Libatkan masyarakat dalam musyawarah untuk menentukan jenis usaha koperasi. Dengan begitu, koperasi terasa lahir dari mereka, bukan dipaksakan.
2. Diversifikasi Jenis Koperasi
• Jangan hanya fokus ke KSP (simpan pinjam), karena sering kali cepat macet.
• Dorong koperasi produsen (petani, nelayan, pengrajin) dan pemasaran/distributor yang bisa menjembatani desa dengan pasar kota.
• Perkuat jaringan dengan koperasi konsumen di perkotaan, sehingga tercipta rantai ekonomi koperasi.
3. Pendampingan Intensif
• Koperasi baru perlu pendamping lapangan yang paham manajemen, usaha, dan dinamika sosial.
• Pendampingan jangan hanya administratif (laporan, RAT), tapi juga bisnis plan, pemasaran, dan digitalisasi.
4. Fleksibilitas Dana
• Jangan hanya menyalurkan dana Rp 3 miliar, tapi buat mekanisme bertahap, yaitu pencairan sesuai progres usaha koperasi.
• Dana bisa diarahkan pada unit usaha berbasis potensi desa, bukan dibagi rata atau asal habis.
5. Integrasi dengan BUMDes & Swasta
• Jangan ada tumpang tindih. Jika desa sudah punya BUMDes, koperasi bisa menjadi mitra, bukan saingan.
• Juga bisa kerjasama dengan sektor swasta (misalnya koperasi nelayan jadi pemasok hotel dan restoran di Lombok).
6. Penguatan Kapasitas Anggota
• Lakukan diklat kewirausahaan, literasi keuangan, dan digital marketing.
• Dengan begitu, koperasi tidak hanya punya badan hukum, tetapi juga punya anggota yang siap menjalankan bisnis.
7. Monitoring & Evaluasi yang Realistis
• Indikator keberhasilan jangan hanya “jumlah koperasi yang berdiri”.
• Harus jelas: omzet meningkat, anggota sejahtera, ada usaha jalan, kontribusi nyata bagi ekonomi desa.
8. Narasi & Sosialisasi
• Bangun narasi bahwa Koperasi Merah Putih adalah alat perjuangan ekonomi rakyat, bukan sekadar program proyek.
• Sosialisasi perlu menyentuh aspek ideologi koperasi: kebersamaan, kemandirian, dan keberlanjutan.
PENUTUP
Koperasi Desa Merah Putih akan menjadi pusat ekonomi desa sekaligus menjadi agen perubahan yang mendasar. Jika masyarakat semula bergerak sendiri-sendiri, individu per individu maka dengan adanya koperasi dapat dilakukan secara kolektif, bersama-sama, dengan semangat gotong royong. Tidak ada lagi kesulitan dalam distribusi produk, cukup melalui koperasi dan koperasi yang akan mendistribusikan. Harga juga cukup kompetitif dan di akhir tahun buku jika terdapat keuntungan, setiap anggota akan menerima hasil sesuai dengan tingkat partisipasinya. Dengan demikian, Koperasi Desa Merah Putih akan mampu bertindak sebagai jalan bagi masyarakat menuju kesejahteraan.