Bagian barat gedung masih menyisakan kerusakan sejak peristiwa gempa Lombok 2018. Foto diambil Rabu, 3 Desember 2025 di SMKN 1 Labuapi. (Dokumentasi pribadi)
Labuapi – Tujuh tahun pascagempa Lombok 2018, sebagian bangunan SMKN 1 Labuapi masih
rusak dan belum diperbaiki. Kasus ini bukan sekadar soal teknis konstruksi, tetapi contoh nyata
kegagalan komunikasi kebijakan di tingkat daerah aspirasi telah disampaikan, namun tidak diikuti tindakan.
kebijakan publik membutuhkan tiga unsur agar berjalan efektif: pesan yang jelas, saluran yang
tepat, dan respons politik yang memadai. Sekolah mengaku telah berulang kali melaporkan
kerusakan kepada dinas, pesan dan salurannya ada. Masalahnya, respons politik berhenti pada
jawaban standar anggaran belum tersedia.
Jawaban ini menegaskan bahwa hambatan bukan miskomunikasi, melainkan prioritas politik.
Informasi terkirim, tetapi tidak menjadi keputusan anggaran yang konkret. Ini sejalan dengan apa yang disebut para ahli kebijakan sebagai “political will gap” ketika pemerintah tahu persoalan, tetapi memilih untuk tidak bertindak.
Kondisi di lapangan menunjukkan dampaknya langsung terhadap kualitas pembelajaran: kondisi bangunan yang tidak memadai, plafon rusak, ruang praktik kosong, meja dan kursi terbatas, hingga perlengkapan pembelajaran teknologi yang minim. Beberapa ruang bahkan dikosongkan karena dianggap berbahaya. Murid merasakan keresahan setiap hari, tetapi keresahan itu tidak memiliki daya tawar politik.
kebutuhan sekolah kecil sering gagal masuk dalam agenda kebijakan karena minim tekanan publik. Di SMKN 1 Labuapi, komunikasi internal antara sekolah dan orang tua berlangsung baik melalui rapat tahunan, tetapi tidak berkembang menjadi gerakan advokasi bersama. Padahal, banyak studi menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan lebih cepat direspons ketika ada suara kolektif dari sekolah, komite, dan masyarakat sipil.
Artinya, ketimpangan kebijakan bukan hanya terjadi karena pemerintah tidak bertindak, tetapi juga karena struktur komunikasi publik tidak bekerja dua arah. Sekolah menyampaikan aspirasi secara administratif, pemerintah menjawab secara prosedural, dan proses berhenti di sana, tanpa sirkulasi opini publik yang mendorong perubahan.
Kasus ini mencerminkan fenomena lebih luas: sekolah-sekolah kecil berada pada posisi marginal dalam peta komunikasi politik daerah. Bangunan baru bisa dianggarkan, tetapi rehabilitasi gedung lama yang mendesak justru diabaikan. Itu menunjukkan bahwa anggaran bukan sekadar dokumen teknis, tetapi produk negosiasi politik dan kepentingan.
Pesan dari pihak sekolah kepada pemerintah daerah singkat namun bermakna: “perhatikan sekolah kecil.” Kalimat ini adalah representasi dari suara kelompok yang jarang terdengar dalam percakapan politik lokal. Sekolah kecil bukan berarti kebutuhannya kecil. Justru di sanalah dasar pembangunan SDM dibentuk.
Jika pemerintah serius menempatkan pendidikan sebagai sektor strategis, maka komunikasi politik harus berubah dari sekadar respon rutin menjadi tindakan nyata. Aspirasi perlu masuk dalam agenda prioritas, anggaran harus dialokasikan secara adil, dan proses kebijakan wajib berpihak pada keselamatan serta kualitas belajar anak-anak. Sekolah sudah menyampaikan informasi. Murid sudah menyatakan harapan. Sekarang pertanyaannya jelas
apakah pemerintah daerah mau mendengar atau hanya menjawab?
Penulis: Soviana Rahayu Sapitri — Mahasiswa UIN Mataram
