Di era sekarang, banyak anak muda lebih tau politik dari TikTok daripada dari berita resmi. Bukan salah mereka memang FYP hadir persis di depan mata, setiap detik. Tanpa disadari, algoritma di balik FYP bukan cuma memilih video yang lucu atau relatable, tapi juga perlahan mengarahkan cara kita memandang siapa yang layak dipercaya, didukung, bahkan dianggap berkuasa.
Inilah hal penting yang sering kita lewatkan: algoritma diam-diam ikut mengatur cara berpikir kita.
FYP bekerja dengan prinsip sederhana: ia hanya menampilkan konten yang mirip dengan apa yang pernah kita sukai. Tapi dampaknya tidak sesederhana itu. Ketika kita hanya diperlihatkan pandangan yang sama terus menerus, kita masuk ke yang namanya “gelembung informasi”. Dalam gelembung ini, kita merasa pendapat kita yang paling benar, karena konten yang muncul selalu mendukungnya. Pandangan lain? Menghilang pelan-pelan.
Masalah makin besar ketika isu politik yang sebenarnya rumit dipotong jadi video 15 detik. Isu kompleks jadi terlihat gampang, tokoh tertentu terlihat bagus hanya dari satu momen, dan kebijakan yang seharusnya dipahami detail malah diganti gimmick.
Akhirnya, kita jadi menilai kekuasaan dari citra yang muncul di layar, bukan dari kenyataan.
FYP juga punya kekuatan membuat sesuatu viral dalam hitungan menit. Bukan karena itu penting, tapi karena algoritma tahu itu bikin kamu nonton lama. Tokoh politik pun ikut terbawa arus: yang lucu jadi terlihat dekat, yang marah-marah jadi terlihat berani.
Padahal keberanian bukan tentang teriak di video, dan kedekatan bukan soal bikin konten receh. Tapi FYP membuat hal-hal seperti itu lebih menonjol daripada rekam jejak asli.
Yang sering tidak disadari adalah efek polarisasi. Karena konten yang muncul selalu memperkuat pendapat kita, kita bisa jadi cepat benci, cepat percaya, atau cepat fanatik tanpa alasan kuat. Ini berbahaya: kekuasaan akhirnya dipandang hanya “pilih kubu A atau kubu B”, padahal masalahnya jauh lebih luas.
Dan ada hal yang jarang dibahas: algoritma selalu mengutamakan emosi. Konten yang bikin marah, sedih, atau bangga akan muncul lebih sering. Akibatnya, cara anak muda melihat kekuasaan banyak dipengaruhi emosi sesaat, bukan pengetahuan yang matang.
Penutup
Inilah poin pentingnya: FYP bukan cuma hiburan. Ia adalah alat yang bisa mengubah cara kita berpikir tentang siapa yang punya kekuasaan dan bagaimana kekuasaan bekerja. Kalau kita tidak sadar, kita hanya akan ikut arus algoritma tanpa pernah bertanya: “Ini benar atau cuma dibuat supaya aku betah nonton?”
Karena itu, anak muda perlu lebih kritis. Jangan hanya percaya apa yang muncul di layar. Cari sumber lain, dengar pendapat berbeda, dan jangan biarkan algoritma mengatur sudut pandang kita. Kekuasaan memang besar. Tapi algoritma kadang lebih besar daripada itu. Dan menyadarinya adalah langkah pertama untuk tidak mudah dipengaruhi.
Penulis: Siti Husailatul Mursida Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
