
Telkomsel, sebagai salah satu penyelenggara jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia, memiliki peranan strategis dalam mendukung akses komunikasi dan informasi bagi masyarakat luas. Di era digital saat ini, layanan data internet menjadi kebutuhan primer, sehingga penyedia jasa telekomunikasi dituntut untuk memberikan produk dan layanan yang tidak hanya inovatif, tetapi juga berkualitas, transparan, dan adil. Namun, praktik penjualan paket data yang tidak dapat digunakan secara maksimal oleh konsumen dan berakhir dengan hangusnya paket setelah masa berlaku 30 hari, menimbulkan berbagai persoalan hukum dan etika yang perlu mendapat perhatian serius.
Dari perspektif perlindungan konsumen, fenomena ini berpotensi menimbulkan kerugian materiil yang tidak sedikit bagi pelanggan. Pembelian paket data yang tidak bisa digunakan secara efektif , entah karena gangguan jaringan, kesalahan teknis, atau mekanisme pengaktifan yang rumit. Yang dalam artian pelanggan tidak menerima manfaat penuh dari produk yang telah dibayarkan. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen).
Dalam UU tersebut, Pasal 4 mengatur hak-hak konsumen, termasuk hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Selanjutnya, Pasal 7 menegaskan kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa yang dipasarkan. Oleh karena itu, jika Telkomsel tidak memberikan layanan sesuai dengan yang dijanjikan , misalnya paket yang dijual tidak dapat digunakan secara optimal, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha.
Selain itu, dugaan transaksi tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang mengharuskan BUMN untuk mengutamakan kepentingan umum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Bila terbukti ada unsur korupsi, maka sanksi pidana dapat dijatuhkan sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lebih jauh, dalam konteks layanan telekomunikasi, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perlindungan Pelanggan Jasa Telekomunikasi secara tegas mengatur tanggung jawab penyelenggara jasa untuk menyediakan layanan yang berkualitas dan transparan. Pasal 4 peraturan ini menekankan hak pelanggan untuk mendapatkan layanan yang sesuai dengan perjanjian dan standar kualitas. Bila terjadi gangguan teknis yang menghambat penggunaan paket data, penyelenggara wajib memberikan kompensasi yang layak kepada pelanggan, baik berupa penggantian layanan, perpanjangan masa berlaku paket, atau bentuk kompensasi lain.
Dari perspektif perlindungan konsumen, praktik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjamin hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Ketidakjelasan masa aktif dan batas pemakaian paket data menciptakan ketidakadilan yang nyata bagi pengguna.
Pun dalam praktiknya, apabila Telkomsel membiarkan paket data hangus otomatis setelah 30 hari tanpa memberikan solusi konkret bagi pelanggan yang mengalami masalah teknis, hal ini tidak hanya menyalahi regulasi tersebut, tetapi juga mengabaikan prinsip fairness (keadilan) dan good faith (itikad baik) yang seharusnya menjadi fondasi interaksi antara penyedia jasa dan konsumen. Tindakan seperti ini berpotensi merusak reputasi perusahaan dan menurunkan kepercayaan konsumen yang merupakan aset utama dalam persaingan industri telekomunikasi.
Secara etis, perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel harus mengedepankan tanggung jawab sosial dan profesionalisme dengan memberikan pelayanan yang responsif dan solutif. Tidak cukup hanya menjual paket dengan harga tertentu tanpa memastikan paket tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pelanggan. Kegagalan dalam hal ini menunjukkan lemahnya manajemen kualitas layanan dan kurangnya komitmen terhadap perlindungan konsumen.
Skandal semacam ini sangat berbahaya karena tidak hanya merusak reputasi BUMN, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara dan mengancam stabilitas ekonomi nasional. Oleh sebab itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan sangat diperlukan. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera melakukan investigasi menyeluruh dan mengambil langkah hukum yang tepat untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa pelaksanaan regulasi perlindungan konsumen dan penyediaan layanan telekomunikasi yang bermutu tinggi harus berjalan beriringan. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika juga perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum agar pelaku usaha telekomunikasi menjalankan kewajibannya secara optimal. Dengan demikian, perlindungan konsumen tidak sekadar menjadi jargon normatif, melainkan realitas yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas dalam keseharian mereka.
Oleh : Gagas Gemilang Ramadhan