Skip to content
Kampung Media
Kampung Media

Kampung Media

penghargaan-kampung-media
Primary Menu
  • Inspirasi Kampung
  • Kuliner Kampung
  • Wisata Kampung
  • Otomotif
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Pendidikan
  • Pemerintahan
  • Sosial Keagamaan
  • Artikel/Opini

Banjir Tahunan dan Retorika Pemerintah yang Tak Pernah Kering

Lalu Rosmawan December 9, 2025
IMG-20251209-WA0032

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ironisnya, kekayaan tersebut tidak sejalan dengan kemampuan negara dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Persoalan banjir yang terus berulang di berbagai wilayah menunjukkan adanya kegagalan struktural dalam tata kelola lingkungan dan kebijakan publik. Setiap musim hujan, masyarakat kembali menghadapi dampak serupa: pemukiman terendam, akses transportasi terputus, serta aktivitas ekonomi yang lumpuh. Kondisi ini menegaskan bahwa banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan persoalan politik dan kebijakan.

Pemerintah sering membingkai banjir sebagai akibat dari curah hujan ekstrem atau faktor alam global. Dalam perspektif komunikasi politik, framing semacam ini berfungsi untuk menggeser tanggung jawab dari aktor kebijakan kepada alam. Padahal, berbagai keputusan politik—mulai dari penataan ruang, pembangunan infrastruktur, hingga pengawasan alih fungsi lahan—berkontribusi langsung terhadap meningkatnya risiko banjir. Ketika kebijakan tidak berbasis keberlanjutan, maka bencana menjadi konsekuensi yang dapat diprediksi.

Perkembangan media sosial mengubah secara signifikan cara masyarakat memahami dan merespons bencana banjir. Jika sebelumnya informasi didominasi oleh media arus utama dan pernyataan resmi pemerintah, kini warga terdampak dapat menyampaikan realitas lapangan secara langsung. Video banjir yang beredar di platform seperti X, TikTok, dan Instagram menghadirkan “counter-narrative” terhadap narasi pemerintah. Dalam konteks teori ruang publik (public sphere), media sosial berfungsi sebagai arena diskursus baru tempat warga berpartisipasi aktif dalam perdebatan politik.

Diskusi di platform X menunjukkan bagaimana banjir tidak lagi dipandang sebagai peristiwa alam semata, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang keliru. Tagar kritik terhadap pemerintah, sorotan terhadap proyek mangkrak, dan tuntutan akuntabilitas menjadi indikator bahwa isu banjir telah mengalami politisasi. Media sosial memungkinkan publik melakukan fungsi pengawasan (watchdog) terhadap negara, di mana klaim pemerintah dapat langsung diverifikasi oleh dokumentasi warga di lapangan. Dengan demikian, ruang digital menjadi instrumen kontrol sosial yang semakin kuat.

Selain sebagai ruang kritik, media sosial juga memfasilitasi solidaritas horizontal antarwarga. Informasi mengenai lokasi aman, bantuan darurat, dan koordinasi relawan menyebar dengan cepat. Namun, fenomena ini sekaligus memperlihatkan paradoks: ketika masyarakat saling bergotong royong, negara justru terlihat lamban dan kurang siap. Dalam komunikasi politik, kondisi ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, karena negara gagal tampil sebagai aktor utama dalam penanganan krisis.

Generasi muda yang tinggal di daerah terdampak banjir menjadi kelompok yang paling vokal dalam menyuarakan kritik. Pengalaman hidup dalam situasi banjir berulang membentuk kesadaran politik yang lebih tajam. Bagi mereka, banjir adalah bukti nyata kegagalan kebijakan lingkungan dan tidak konsistennya pemerintah dalam melindungi warganya. Generasi muda mempersoalkan prioritas pembangunan yang lebih menekankan proyek besar dibandingkan perbaikan infrastruktur dasar seperti drainase dan sistem pengendali banjir.

Kritik juga diarahkan pada lemahnya pengawasan alih fungsi lahan. Hutan dan daerah resapan air terus menyusut akibat pembangunan yang tidak terkendali. Dalam pandangan generasi muda, kebijakan ini mencerminkan pilihan politik yang lebih mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada keselamatan lingkungan dan manusia. Ketika banjir terjadi, dampaknya justru ditanggung langsung oleh masyarakat lokal, bukan oleh para pengambil kebijakan.

Dalam aspek penanganan bencana, generasi muda menyoroti lambannya respons pemerintah serta minimnya koordinasi antar lembaga. Evakuasi yang terlambat dan bantuan yang tidak merata memperkuat persepsi bahwa negara bersifat reaktif, bukan preventif. Lebih jauh, mereka juga mengkritik minimnya ruang partisipasi bagi warga muda dalam penyusunan kebijakan kebencanaan, meskipun mereka memiliki pengetahuan lokal yang relevan.

Pada akhirnya, banjir menjadi ujian serius bagi legitimasi pemerintah. Dalam perspektif komunikasi politik, konsistensi antara narasi, kebijakan, dan tindakan nyata sangat menentukan kepercayaan publik. Ketika pemerintah hanya hadir melalui simbol dan retorika, sementara realitas lapangan menunjukkan sebaliknya, maka krisis kepercayaan tidak terhindarkan. Melalui media sosial dan kritik generasi muda, publik menuntut negara untuk tidak sekadar terlihat bekerja, tetapi benar-benar hadir dengan kebijakan yang berorientasi pada pencegahan dan keselamatan jangka panjang.

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ironisnya, kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan kemampuan negara dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Salah satu bukti paling nyata adalah persoalan banjir yang terus berulang hampir setiap tahun di berbagai wilayah. Setiap musim hujan tiba, masyarakat kembali dihadapkan pada kenyataan pahit berupa pemukiman yang terendam, akses transportasi terputus, serta aktivitas ekonomi yang lumpuh. Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan struktural dalam pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang hingga kini belum tertangani secara tuntas.

Banjir kerap dipersepsikan sebagai bencana alam semata, dengan pemerintah sering menyebut curah hujan ekstrem atau fenomena cuaca global sebagai penyebab utama. Padahal, jika dicermati lebih dalam, akar persoalan banjir di Indonesia justru bersumber dari kebijakan manusia itu sendiri. Penataan ruang yang tidak terkontrol, pembangunan yang masif tanpa kajian lingkungan memadai, serta lemahnya pengawasan terhadap alih fungsi lahan telah memperparah kerentanan wilayah terhadap banjir. Sayangnya, respons pemerintah masih cenderung reaktif, yakni baru bergerak setelah bencana terjadi, tanpa perencanaan jangka panjang yang menyentuh akar masalah.

Dalam konteks ini, media sosial memainkan peran penting dalam membentuk wacana publik. Platform seperti X, TikTok, dan Instagram menjadi ruang di mana realitas banjir ditampilkan secara langsung oleh warga terdampak. Video rumah terendam, arus air deras di jalanan, hingga proses evakuasi darurat menyebar luas dalam waktu singkat. Media sosial mengubah pengalaman personal menjadi isu kolektif, sehingga masalah banjir tidak lagi tersembunyi di balik laporan resmi pemerintah. Melalui unggahan warga, publik dapat melihat kondisi lapangan yang sering kali berbeda dengan narasi yang disampaikan oleh pejabat.

Di platform X, diskusi publik berkembang lebih politis. Warganet menyoroti lemahnya sistem drainase, proyek normalisasi sungai yang tidak berkelanjutan, serta kebijakan pembangunan yang dianggap mengabaikan kelestarian lingkungan. Tagar kritik terhadap pemerintah kerap menjadi trending, menandakan bahwa banjir tidak lagi dipahami sebagai kejadian alam yang tak terhindarkan, melainkan sebagai konsekuensi dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan warga. Media sosial, dengan demikian, berfungsi sebagai arena kontrol sosial dan verifikasi publik terhadap kinerja pemerintah.

Di sisi lain, media sosial juga memunculkan solidaritas horizontal di tengah masyarakat. Informasi mengenai titik aman, kebutuhan logistik, hingga koordinasi relawan tersebar dengan cepat. Namun solidaritas ini sekaligus menjadi kritik tersirat terhadap negara, karena seharusnya peran utama dalam mitigasi dan penanggulangan bencana berada di tangan pemerintah, bukan dibebankan pada inisiatif spontan masyarakat.

Dalam situasi ini, generasi muda yang tinggal di daerah terdampak banjir muncul sebagai kelompok yang paling vokal menyuarakan kritik. Mengalami langsung dampak banjir dari tahun ke tahun membuat mereka semakin skeptis terhadap komitmen pemerintah. Bagi generasi muda, banjir bukan sekadar bencana alam, melainkan akumulasi dari kebijakan yang lalai dan pengelolaan lingkungan yang buruk. Mereka mempertanyakan mengapa persoalan yang sama terus berulang tanpa solusi yang konkret dan berkelanjutan.

Salah satu kritik utama yang disampaikan generasi muda adalah ketidakjelasan prioritas pembangunan. Proyek-proyek besar terus dijalankan, sementara infrastruktur dasar seperti drainase, tanggul, dan sistem pengendali banjir dibiarkan tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap alih fungsi lahan juga menjadi sorotan utama. Hutan dan daerah resapan air terus berkurang akibat pembangunan perumahan dan kawasan industri, sering kali tanpa kajian ekologis yang ketat. Di mata generasi muda, pemerintah terlihat lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek daripada keselamatan lingkungan dan warganya.

Kritik juga diarahkan pada lambatnya respons pemerintah saat bencana terjadi. Banyak warga muda menyaksikan bagaimana evakuasi dan distribusi bantuan sering kali terlambat, sementara mereka harus berjuang secara mandiri menyelamatkan diri dan keluarga. Minimnya koordinasi antar lembaga serta kurangnya sistem peringatan dini memperkuat kesan bahwa pemerintah belum menjadikan banjir sebagai prioritas serius, meskipun risikonya dapat diprediksi.

Lebih jauh, generasi muda menuntut ruang partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan kebijakan kebencanaan. Mereka memiliki pengetahuan lokal mengenai titik rawan banjir, perubahan kondisi lingkungan, dan kebutuhan nyata di lapangan. Namun suara mereka sering diabaikan, mencerminkan budaya birokrasi yang masih tertutup dan kurang partisipatif.

Pada akhirnya, banjir tidak hanya menjadi ujian bagi ketahanan masyarakat, tetapi juga bagi kredibilitas pemerintah. Publik tidak membutuhkan janji normatif atau sekadar dokumentasi kunjungan pejabat, melainkan kebijakan nyata yang berorientasi pada pencegahan dan keselamatan jangka panjang. Ketika banjir terus dianggap sebagai rutinitas tahunan, maka kritik masyarakat—khususnya generasi muda—akan semakin mengeras dan sulit diabaikan. Di sinilah media sosial berperan bukan hanya sebagai ruang ekspresi, tetapi sebagai alat politik warga untuk menuntut akuntabilitas negara.

Penulis: Mohammad Hari Pambudi Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram

Continue Reading

Previous: Anak Muda Melek Politik, Tapi Apatis?
Next: Astra Motor Campus Network Hadir di Unram, Mahasiswa Antusias Ikuti Sesi Interaktif

Berita Terkait

f3c7e117-8203-4e63-9b6b-159232dfb52e
  • Artikel/Opini

Kampanye Online: Bagaimana Algoritma Sosial TikTok Membentuk Pemilih Generasi Z

Lalu Rosmawan December 10, 2025
ab8a690b-0d75-4539-bbc3-68d2c061fbae
  • Artikel/Opini

Belajar di Bawah Reruntuhan: Politik Komunikasi di Sekolah Pascagempa

Lalu Rosmawan December 10, 2025
WhatsApp Image 2025-12-10 at 12.21.10
  • Artikel/Opini

Ketika Kekuasaan Lebih Penting Daripada Rakyat

Lalu Rosmawan December 10, 2025

Berita Terkini

  • UNU NTB Hadirkan Edukasi Kampus yang Inspiratif di SMAS Islam Al-Ikhwan Desa Sesait KLU
  • Monitoring Awal KDKMP Ampenan Utara Pasca Pembiayaan Bank NTB Syariah
  • Indosat Proyeksikan Lonjakan Trafik >17% di Bali–Nusa Tenggara, Optimalkan Kapasitas di 7800 BTS untuk Nataru 2026
  • Menguatkan Sinergi dan Kesiapsiagaan, BAZNAS Se-NTB Hasilkan 40 Resolusi Strategis
  • NTB Luncurkan Zero Down Time Pertama di Indonesia

Kanal Berita

  • Artikel/Opini
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Indeks
  • Inspirasi Kampung
  • Kesehatan
  • Kuliner Kampung
  • Olah Raga
  • Otomotif
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Peristiwa
  • Politik
  • Sosial Keagamaan
  • Teknologi
  • Wisata Kampung

Baca juga

WhatsApp Image 2025-12-14 at 12.38.38
  • Pendidikan

UNU NTB Hadirkan Edukasi Kampus yang Inspiratif di SMAS Islam Al-Ikhwan Desa Sesait KLU

M Yakub Yakub December 14, 2025
91a29822-99b5-489b-abed-00ed417e8724
  • Ekonomi

Monitoring Awal KDKMP Ampenan Utara Pasca Pembiayaan Bank NTB Syariah

adminkampung December 13, 2025
3d2af613-436d-4c3b-a514-ab1099e338ac
  • Ekonomi

Indosat Proyeksikan Lonjakan Trafik >17% di Bali–Nusa Tenggara, Optimalkan Kapasitas di 7800 BTS untuk Nataru 2026

adminkampung December 13, 2025
gambarrr_20251213_143317_0000
  • Sosial Keagamaan

Menguatkan Sinergi dan Kesiapsiagaan, BAZNAS Se-NTB Hasilkan 40 Resolusi Strategis

Ibra_kmrb December 13, 2025

SEKRETARIAT


Jl.Banda Sraya Gg.sakura No.5 Pondok Indah Kel.Pagutan Barat Kota Mataram
Nomor Kontak: 089637675034
Email: kampungmedia2008@gmail.com


Konsultan Media: Lombok Inisiatif – Akta Notaris Nomor 135 tanggal 14 Maret 2015.
Alamat: Jalan Bhanda Sraya 23 Griya Pagutan Indah Mataram.

REDAKSI

Publisher VIP (Visual Informasi & Publikasi) PRODUCTION & Lombok Kreatif.

Chief Executive Officer:
Asrobi Abdihi
Chief of Content:
Fakhrul Azhim
Manager Operations / Editor in Chief :
Afifudin
Sekretaris Redaksi: Neneng Pebriana

TIM REDAKSI

Kepala Kampung / Pemred :
Asrobi Abdihi
Redaktur Pelaksana :
Fakhrul Azhim
Editor Senior : Ncep
Editor: Abdi, Achim Nadfia,
Reporter: Muhammad Safwan, Jumaili, Ncep

DEWAN PAKAR

Suaeb Qury, S.H.I.

KONTRIBUTOR

1.Muhammad Safwan (Kota Mataram) 2.Jumaili (Lombok Tengah) 3.Hasan Karing ( KM Brang Ene Sumbawa) 4.Adi Pradana (Kab.Bima)5.Opick Manggelewa. KM Manggelewa (Dompu) 6.Joko KM Panto daeng Sumbawa 7.Ryan KM Gempar Bima 8.Faidin (KM kempo) Dompu 9.Alimuddin (KM Maluk) KSB 10.Randal Patisamba (KM Rampak Nulang) 11.Ibrahim Arifin (KM Rensing Bat) Lotim 12.Yakub (KM SasakTulen) Lobar 13.Alamsyah (KM Tembe Nggoli) Bima 14.M. Hariyadin (KM. Sarei Ndai Kota Bima 15.Andre Kurniawan (KM.Masbagik) Lotim 16.Ali Nurdin (KM. Taliwang) Sumbawa 17.Hajrul Azmi ( KM. Sajang Bawak Nao ) Loteng 18.Desa Wisata Masmas Loteng 19.Abdul Satar Lobar 20.Nurrosyidah Yusuf 21.Masyhuri (sambang kampung),22.Joko Pitoyo, 23.Asep KM Lobar, 24. Abu Ikbal, 25. Romo. 26. Alin 27. Tawa, 28. Andi Mulyan Mataram,29. Asri (KM Sukamulia), 30. Efan (Kampung Media Lengge Wawo-Bima) 31. Aulia Abdiana

Copyright © Kampung Media.