Insiden pembakaran gedung DPRD NTB pada 30 Agustus 2025 benar benar jadi salah satu kejadian paling heboh di daerah. Ribuan massa dari berbagai kelompok, mulai dari mahasiswa sampai komunitas ojek online turun ke jalan buat meluapkan kekecewaan mereka. Isunya sangat serius mulai dari kenaikan gaji DPR RI yang dianggap tidak masuk akal sampai kasus meninggalnya Afan Kurniawan, driver ojol yang tewas saat demo di Jakarta.
Bagi sebagian orang, kejadian ini mungkin terlihat seperti “puncak kekesalan rakyat.” Tapi kalau kita lihat lebih dalam, aksi seperti ini justru bikin kita bertanya: ini benar-benar suara rakyat, atau cuma amarah yang nggak tahu arah?
Sebagai mahasiswa, kita paham banget kalau menyampaikan pendapat itu penting. Kita punya hak menyuarakan apa yang kita rasa itu salah. Tapi ketika kritik berubah jadi tindakan destruktif, semuanya jadi blur. Pesan baik bisa tenggelam di tengah asap dan kobaran api.
“kerugian dari kebakaran itu diperkirakan sampai puluhan miliar rupiah dan bahkan ada satu gedung yang ludes” ujar Muhammad Erwan, Kabag Umum & Humas Sekretariat DPRD NTB. Begitu informasi ini keluar, publik langsung fokus ke besarnya kerugian dan skala kerusakan bukan lagi ke isi tuntutan yang sebenarnya ingin disampaikan massa.
Masalahnya, aksi pembakaran justru sering membuat inti tuntutan tidak lagi didengar. Yang jadi sorotan bukan lagi “apa yang diperjuangkan,” tapi “siapa yang membakar.” Jadinya fokus masyarakat bergeser, dan perjuangan itu sendiri nggak sampai ke meja diskusi. Ironi banget, kan?
Di sisi lain, kejadian ini juga menampar wajah pemerintah daerah. Kenapa sampai terjadi sefrontal itu? Apakah saluran aspirasi selama ini benar-benar tidak bekerja? Apakah masyarakat sudah berkali-kali bicara tapi cuma dijawab formalitas? Kalau iya, berarti ada yang salah dalam hubungan antara pemerintah dan warganya. Gedung DPRD memang milik negara, tapi rasa kepemilikan rakyat terhadap kebijakan yang dibuat di dalamnya mungkin sudah lama hilang.
Tapi tetap: kekecewaan tidak boleh jadi alasan pembenaran kekerasan. Demokrasi itu ruang dialog, bukan ruang bakar-bakaran.
Justru di sinilah posisi mahasiswa menjadi penting. Kita harus bisa menunjukkan bahwa suara keras tidak selalu harus identik dengan tindakan anarkis. Kita bisa turun ke jalan, bisa bikin kajian, bisa bikin diskusi publik, bisa menulis opini seperti ini. Banyak cara untuk ngomong kencang tanpa harus memadamkan api demokrasi dengan… api beneran.
Dan pemerintah? Mereka juga harus belajar dari kejadian ini. Jangan cuma fokus mencari siapa pelaku, lalu selesai. Ada perasaan publik yang jauh lebih besar dari itu. Rakyat marah bukan dalam semalam. Ada akumulasi kekecewaan yang mungkin diabaikan terlalu lama.
Akhirnya, kejadian pembakaran gedung DPRD NTB ini harus jadi pengingat bersama:
kritik itu penting, tapi harus tepat arah; aspirasi itu harus didengar, tapi harus juga disampaikan dengan cara yang sehat.
Jika keduanya berjalan dengan baik, nggak perlu ada api untuk membuat pemerintah mau memperhatikan kita . Dan kita sebagai mahasiswa, masyarakat umum, sampai pejabat pun semua bisa duduk bareng untuk nyari solusi, bukan mencari masalah.
Penulis: Husnul Umniati NIM 240301006 (Mahasiswi UIN Mataram prodi komunikasi Penyiaran islam)
