
Herianto Mengahadiri acara Mahasiswa MADILOG BEM FAPERTA UNRAM
MATARAM – Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) 2024-2025, Herianto, menyoroti kegagalan pemerintah dalam mengawal sektor pertanian. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu alasan utama mengapa mayoritas petani di Indonesia enggan turun ke sawah dan minimnya minat generasi muda untuk terlibat.
Pernyataan tersebut disampaikan Herianto dalam acara Mahasiswa Berdialog (MADILOG) yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian (FAPERTA) Universitas Mataram (UNRAM). Diskusi yang digelar di Kedai 29 Mataram pada Senin, 22 September 2025 ini mengusung tema “Apakah Sektor Pertanian Hanya Harapan Palsu atau Jalan Nyata bagi Generasi Muda?”.
Dalam pemaparannya, Herianto menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah. “Rata-rata petani tidak ada yang muda,” ujarnya. Ia menilai, program-program pemerintah sering kali hanya bersifat seremonial dan berorientasi pada kepentingan jangka pendek.
“Hanya pemerintah seremoni saja, tidak mengawal, hanya ada presentasi saja,” tegasnya.
Herianto juga menyoroti tantangan mendasar yang dihadapi anak muda, yaitu keterbatasan akses lahan. “Apakah masih relevan tantangan keterbatasan akses lahan? Banyak anak muda tidak punya tanah,” tambahnya. Menurutnya, kondisi ini membuat sektor pertanian menjadi tidak stabil dan kurang menarik bagi generasi Z.
Menanggapi pertanyaan dari peserta diskusi mengenai nilai jual pertanian agar diminati generasi muda, Herianto menawarkan solusi. “Tidak ada stabil sektor pertanian di Indonesia ini,” jawabnya. Oleh karena itu, ia mendorong agar gerakan kajian ke pemerintah terus dilakukan. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya peran kampus.
“Jadikan kampus ini laboratorium,” pintanya, menegaskan bahwa perguruan tinggi harus menjadi pusat riset dan inovasi yang berkontribusi nyata bagi kemajuan sektor pertanian.
Diskusi ini juga menghadirkan narasumber lain, Erwin Irawan, Founder Morikaindonesia. Ia menyoroti kondisi upah petani di NTB yang masih rendah dan ekstremnya kemiskinan di kalangan petani. Erwin juga menyebutkan bahwa dari 260 ribu petani milenial di NTB, banyak yang belum mampu mengintegrasikan diri dengan pertanian berkelanjutan. Ia mencontohkan petani milenial paling banyak di Lombok Timur, yang dapat menjadi barometer.