Kondisi jalan rusak di Desa Setanggor, Praya Barat, Lombok Tengah, yang belum mendapat penanganan pemerintah.
LOMBOK TENGAH — Di Setanggor, kerusakan jalan bukan lagi sekadar masalah infrastruktur, tetapi bukti bahwa pemerintah daerah gagal menjalankan fungsi pelayanan public. Jalan rusak di Nusa Tenggara Barat bukan lagi menjadi masalah baru. Namun apa yang terjadi di Desa Setanggor, Praya Barat, menjadi cerminan jelas bahwa perhatian pemerintah terhadap pembangunan, khususnya infrastruktur dasar, masih jauh dari harapan. Begitu hujan turun, jalan berubah menjadi becek dan berlubang, sementara penerangan di malam hari hampir tidak ada. Warga pun harus mempertaruhkan keselamatan setiap kali melintas. Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini terus dibiarkan tanpa langkah konkret dari pemerintah daerah.
Salah satu penyebab kerusakan jalan terus terjadi ialah minimnya respons dari pemerintah setempat. Umumnya jalan baru diperbaiki setelah kondisinya parah, bukan melalui perawatan rutin sejak dini. Situasi ini membuat pengendara harus berhati-hati dan sering berebut jalur untuk menghindari lubang, bahkan tak jarang menimbulkan kemacetan di jam tertentu. Kondisi serupa terjadi di Desa Setanggor, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, yang hingga kini jalan desanya masih berlubang dan minim pencahayaan. Belum jelas apakah pemerintah setempat telah merespons keluhan warga, sebab kerusakan jalan masih terus dibiarkan tanpa penanganan. Jika hal ini berlanjut, dampaknya akan semakin terasa: aktivitas ekonomi dan pendidikan warga dapat terganggu, dan kesenjangan pembangunan antara desa dan kota semakin lebar.
Berkaitan dengan data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2024, terdapat 31 ruas jalan provinsi yang belum diperbaiki sepenuhnya, dengan total kerusakan 11,79 kilometer. Sementara itu, data IDN Times (2024) mencatat total panjang jalan provinsi di NTB mencapai 1.484 kilometer. Artinya, kerusakan jalan terjadi di banyak titik dan membutuhkan penanganan serius. Untuk melakukan perbaikan menyeluruh, dibutuhkan anggaran sekitar Rp500 miliar.
Selain kerusakan yang tak kunjung ditangani, komunikasi pemerintah terkait rencana perbaikan juga sangat minim. Masyarakat tidak mendapatkan informasi resmi mengenai kapan perbaikan akan dimulai atau langkah apa yang sedang direncanakan. Kurangnya keterbukaan ini membuat warga merasa diabaikan dan memperkuat persepsi bahwa pemerintah belum serius menangani persoalan infrastruktur dasar.
Pemerintah daerah diharapkan segera melakukan tindakan nyata sebelum kondisi semakin memburuk. Perawatan jalan yang berkelanjutan serta pemerataan pembangunan infrastruktur perlu menjadi prioritas, agar warga—khususnya yang tinggal di pedesaan seperti Desa Setanggor—bisa menikmati akses jalan yang lebih aman dan nyaman. Kerusakan jalan bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut keselamatan publik dan hak masyarakat atas fasilitas yang layak.
Penulis: Dea Restu Isnaini Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
