Lombok Timur – Di antara hamparan sawah dan nadi kehidupan masyarakat Lombok Timur, membentang sebuah struktur tua yang lebih dari sekadar penghubung fisik, ia adalah Jembatan Do’a. Begitulah masyarakat mengenalnya, sebuah nama yang menggetarkan, yang lahir dari keyakinan bahwa jembatan ini, yang didirikan antara tahun 1960-1970an, adalah buah nyata dari ketulusan dan munajat.
Jembatan Do’a bukan hanya menghubungkan dua desa bersaudara, Rensing Bat dan Rensing Raya, tetapi juga menjadi urat nadi yang memompa kehidupan ke seluruh wilayah. Ia adalah jalan utama menuju Pasar Rensing yang ramai, pintu gerbang menuju jalan raya utama, bahkan menjadi akses vital yang menghubungkan Kabupaten Lombok Timur dengan Lombok Tengah. Setiap kendaraan yang melintasinya membawa harapan, setiap langkah kaki di atasnya mengangkut rezeki. Ia adalah simbol kebersamaan, sebuah monumen beton atas gotong royong dan keyakinan.
Namun, kini Jembatan Do’a sedang merana. Puluhan tahun melayani dengan setia, kini usianya tak lagi mampu menahan beban zaman. Dinding-dindingnya yang kokoh perlahan menyerah pada desakan alam. Longsor mulai menggerus bibir sungainya, mengancam pondasi yang selama ini menopang. Retakan-retakan tajam mulai merayap di sana-sini, seperti goresan luka yang mengisyaratkan bahaya.
Ia bersedih. Setiap getaran yang melintas di atasnya terasa seperti desahan pilu. Ia tahu, sudah saatnya ia beristirahat dan digantikan dengan yang lebih kuat. Sudah saatnya “Do’a” yang baru dipanjatkan, diwujudkan dalam bentuk pembaruan fisik.
Masyarakat telah lama menanti. Wacana perbaikan dan pembangunan kembali sudah lama digaungkan, menjadi topik hangat di setiap warung kopi dan balai desa. Namun, penantian itu terasa hambar.
“Jembatan Do’a sudah lama digadang-gadang akan diperbaiki, tapi hingga kini, yang kami terima hanyalah janji-janji kosong dari para petinggi,” keluh seorang warga.
Realitas pahit ini menyayat hati. Monumen harapan yang dibangun dari kesungguhan kini terancam ambruk di tengah lautan janji yang tak kunjung terealisasi. Keamanan pengguna jalan dipertaruhkan, dan urat nadi perekonomian dua kabupaten terancam terputus.
Sudah saatnya kita bergerak dari sekadar mengenang sejarah dan terharu oleh nama Jembatan Do’a. Kini, saatnya mengubah do’a menjadi aksi nyata. Pemerintah dan pemangku kebijakan dituntut untuk segera mewujudkan janji yang telah lama menggantung. Jangan biarkan warisan keyakinan ini ambruk menjadi puing-puing, hanya karena terlambatnya sebuah tindakan.
Jembatan Do’a bukan meminta-minta, ia menagih janji. Ia menanti tangan-tangan bertanggung jawab untuk mengembalikan kekuatannya, agar ia bisa terus menjadi saksi bisu, bukan hanya dari harapan masa lalu, tapi juga dari kepedulian di masa kini. (km_rb)
