Lombok Tengah – Di tengah era digital yang serba cepat, kampanye politik mengalami transformasi besar. Tidak lagi berfokus pada pidato dipanggung terbuka, baliho, spanduk, atau debat di televisi, kini medan utama telah bergeser ke layar ponsel, pertarungan politik berada di layar ponsel. Algoritma media sosial (TikTok) menjadi senjata utama dalam membentuk opini publik, terutama di kalangan Generasi Z kelompok pemilih muda yang lahir dan tumbuh bersama teknologi menjadi sasaran utama para politisi dalam menyebarkan pesan dan mempengaruhi pilihan.
Suara pemilih muda atau generasi Z tersebut dikenal sebagai digital native. Gen Z menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya, mengonsumsi berbagai jenis konten, termasuk konten politik. Kampanye politik pun beradaptasi, berpindah dari panggung fisik ke ruang digital yang dikendalikan oleh algoritma. Mereka tidak hanya mengonsumsi konten hiburan, tetapi juga terpapar berbagai narasi politik yang dikemas secara kreatif dan emosional. Strategi kampanye kini tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menyesuaikan pesan tersebut dengan preferensi dan perilaku pengguna secara personal.
Algoritma: Penentu Narasi Politik, Algoritma media sosial (TikTok) bekerja dengan menyajikan konten berdasarkan interaksi pengguna. Ketika seorang pemilih muda menyukai atau membagikan konten politik tertentu, algoritma akan terus mengeluarkan konten serupa, memperkuat bias dan membentuk opini tanpa disadari. Akibatnya, pengguna terjebak dalam filter bubble ruang informasi yang sempit dan homogen. Opini politik pun terbentuk bukan dari diskusi terbuka, melainkan dari pengulangan narasi yang sama.
Echo Chamber dan Polarisasi, Fenomena echo chamber memperkuat satu sudut pandang dan mengabaikan yang lain. Gen Z yang aktif di media sosial seperti TikTok, cenderung hanya melihat konten politik yang sesuai dengan minat mereka. Hal ini menghambat dialog lintas ide dan memperkuat polarisasi. Kampanye digital yang seharusnya membuka ruang diskusi justru mempersempitnya.
Kampanye yang Emosional dan Personal, Politisi dan tim kampanye kini memanfaatkan data digital untuk menyampaikan pesan yang sangat personal. Tim kampanye memanfaatkan data digital untuk menyampaikan pesan yang dirancang khusus agar sesuai dengan karakteristik individu. Konten yang viral sering kali lebih mengandalkan emosi daripada fakta. Gen Z, yang responsif terhadap visual dan narasi singkat, menjadi target utama dari pendekatan ini. Akibatnya, persepsi politik dibentuk oleh konten yang menarik secara emosional, bukan yang mendalam secara substansi.
Literasi Digital: Tameng Demokrasi, Di tengah banjir informasi, literasi digital menjadi kunci. Gen Z perlu dibekali kemampuan untuk menyaring informasi, mengenali propaganda, dan memahami cara kerja algoritma. Tanpa itu, mereka rentan dimanipulasi oleh konten viral yang menyesatkan. Meski algoritma bisa menjadi alat edukasi politik yang efektif, pengguna tetap harus kritis dan sadar terhadap apa yang mereka konsumsi.
Kampanye politik lewat media sosial memang bisa menjangkau Generasi Z dengan cepat dan tepat. Tapi di balik kemudahannya, ada tantangan besar: bagaimana agar algoritma tidak cuma jadi alat untuk membujuk, tapi juga bisa dipakai untuk mendidik secara politik. Generasi Z perlu punya kemampuan untuk memilah informasi dan berpikir kritis. Di sisi lain, platform digital dan tim kampanye juga harus lebih terbuka soal bagaimana mereka menyebarkan konten. Masa depan demokrasi di era digital sangat bergantung pada keseimbangan antara teknologi, etika, dan kesadaran pemilih muda.
Penulis: Baiq Hairun An Nisa Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
