Skip to content
Kampung Media
Kampung Media

Kampung Media

penghargaan-kampung-media
Primary Menu
  • Inspirasi Kampung
  • Kuliner Kampung
  • Wisata Kampung
  • Otomotif
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Pendidikan
  • Pemerintahan
  • Sosial Keagamaan
  • Artikel/Opini

Ketika Kekuasaan Lebih Penting Daripada Rakyat

Lalu Rosmawan December 10, 2025
WhatsApp Image 2025-12-10 at 12.21.10

Dalam perjalanan panjang sejarah peradaban, kekuasaan selalu menjadi magnet yang memikat manusia. Ia menawarkan prestise, kontrol, dan kemampuan untuk menentukan arah kehidupan banyak orang. Namun, di balik daya tariknya, kekuasaan juga menyimpan sisi gelap yang sering kali tidak disadari oleh mereka yang memegangnya. Ketika kepentingan pribadi, ambisi politik, dan perebutan pengaruh menguasai pikiran para pemimpin, rakyat yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru bergeser menjadi objek yang mudah diabaikan. Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul pada era modern, tetapi merupakan pengulangan peristiwa historis yang berkali-kali terjadi, hanya dalam bentuk yang berbeda.
Dalam konteks negara demokrasi sekalipun, ironi ini tetap hadir dengan jelas. Di balik janji kampanye, jargon pelayanan publik, dan deklarasi kerakyatan, tak jarang kekuasaan justru digunakan untuk mempertahankan posisi, memperluas jaringan, atau mengamankan kepentingan kelompok tertentu. Publik berulang kali menyaksikan bagaimana kebijakan yang seharusnya dirancang untuk kepentingan bersama berubah menjadi alat transaksi politik. Di ruang-ruang kekuasaan, aspirasi masyarakat sering kali hanya menjadi angka statistik, bukan suara yang sungguh-sungguh dipertimbangkan. Media kerap menyoroti kasus korupsi, penyalahgunaan jabatan, serta skandal yang melibatkan pejabat publik—semua menunjukkan betapa kekuasaan dapat menjauhkan pemimpin dari realitas yang dihadapi rakyat.
Lebih jauh lagi, realitas kehidupan sehari-hari masyarakat memperlihatkan bahwa mereka masih harus berjuang sendiri menghadapi berbagai persoalan: kesenjangan sosial, akses pendidikan yang belum merata, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, serta ketidakpastian ekonomi. Sementara itu, sebagian pemangku kekuasaan tampak lebih fokus pada konsolidasi dukungan politik atau konflik internal antarelite. Ketimpangan antara kebutuhan rakyat dan prioritas kekuasaan ini menimbulkan pertanyaan fundamental: untuk siapa sesungguhnya kekuasaan itu dijalankan? Apakah kekuasaan masih dianggap sebagai amanah, atau telah berubah menjadi tujuan utama?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadi alasan mengapa isu ini terus relevan untuk dibahas. Karena pada dasarnya, kekuasaan tidak hanya menentukan arah kebijakan negara, tetapi juga mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Ketika kekuasaan diposisikan lebih tinggi daripada rakyat, maka tatanan sosial akan mudah goyah, kepercayaan publik menurun, dan demokrasi kehilangan maknanya. Pada titik inilah kita harus kembali mengingatkan bahwa esensi kepemimpinan bukan terletak pada kekuasaannya, tetapi pada keberpihakannya terhadap kesejahteraan rakyat. Sebuah negara tidak akan maju ketika rakyatnya hanya menjadi latar belakang dalam panggung besar kekuasaan; negara hanya dapat berkembang ketika kepentingan rakyat menjadi pusat dari segala keputusan.

Saya dengan tegas menyatakan bahwa ketika kekuasaan ditempatkan di atas kepentingan rakyat, maka negara sedang berjalan menuju kemunduran moral, politik, dan sosial. Kekuasaan yang seharusnya menjadi sarana untuk mengabdi, justru berubah menjadi tujuan yang dikejar demi kepentingan kelompok tertentu. Pernyataan ini bukan sekadar kritik emosional, tetapi merupakan refleksi dari fenomena nyata yang dapat kita temui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika para pemegang kekuasaan lebih sibuk mengamankan posisi, mengelola citra, atau mempertahankan dominasi politik, maka nasib rakyat menjadi sesuatu yang hanya dipikirkan ketika diperlukan—terutama menjelang momentum politik tertentu.
Saya menilai bahwa pemimpin yang mendahulukan kekuasaan daripada rakyat sejatinya telah mengkhianati esensi pemerintahan itu sendiri. Pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan membiarkan mereka terpinggirkan oleh kepentingan politis. Dalam berbagai kasus, kita menyaksikan bagaimana keputusan penting yang memengaruhi kehidupan banyak orang dibuat tanpa mempertimbangkan suara publik, bahkan kadang bertentangan dengan aspirasi mereka. Di sinilah letak persoalan utamanya: kekuasaan menjadi alat mengatur rakyat, bukan alat untuk melayani rakyat.
Sikap saya juga didasarkan pada keyakinan bahwa negara hanya dapat stabil apabila pemimpin dan pejabat publik mengutamakan kepercayaan rakyat. Ketika kekuasaan menjadi prioritas utama, kepercayaan itu runtuh. Masyarakat menjadi apatis, merasa tidak didengar, dan akhirnya menjauh dari proses demokrasi. Ini merupakan kondisi yang berbahaya, karena demokrasi hanya dapat hidup melalui partisipasi aktif dan keyakinan bahwa suara rakyat berpengaruh. Jika kehidupan politik terus dipenuhi praktik-praktik yang hanya menguntungkan elite, maka kualitas demokrasi akan terus merosot hingga pada akhirnya rakyat kehilangan ruang untuk menyampaikan aspirasi secara sehat.
Saya juga berpandangan bahwa kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat akan menghasilkan kebijakan yang timpang. Kepentingan publik akan selalu kalah oleh kepentingan kelas penguasa. Kebijakan semacam itu tidak hanya merugikan masyarakat saat ini, tetapi juga akan membentuk pola ketidakadilan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Karena itu, dalam konteks ini, keberpihakan kepada rakyat bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban moral dan hukum bagi siapa pun yang memegang jabatan publik.
Dengan demikian, sikap saya tetap konsisten: kekuasaan yang ditempatkan lebih tinggi daripada rakyat adalah bentuk penyimpangan mandat dan ancaman terhadap kualitas kehidupan bernegara. Rakyat adalah sumber legitimasi, bukan pelengkap dalam panggung kekuasaan. Oleh sebab itu, setiap pemimpin harus kembali memahami bahwa tujuan utama dari kekuasaan adalah untuk melayani rakyat, melindungi hak-hak mereka, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat membawa manfaat yang nyata bagi kehidupan mereka. Sikap inilah yang harus menjadi dasar bagi pemimpin yang benar-benar memahami makna amanah dan tanggung jawab.

1. Kekuasaan yang Berada Tanpa Pengawasan Akan Menghasilkan Penyimpangan dan Korupsi Kepentingan
Kekuasaan pada dasarnya bukan sesuatu yang netral. Ia sangat dipengaruhi oleh siapa yang memegangnya dan bagaimana sistem mengawasinya. Ketika struktur pengawasan lemah—baik dari masyarakat, lembaga legislatif, maupun institusi penegak hukum—kekuasaan dengan mudah bergerak keluar dari tujuan awalnya. Tanpa mekanisme kontrol, para pemegang jabatan publik cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok yang memberi mereka keuntungan politik. Penyimpangan semacam ini dapat berbentuk korupsi, manipulasi anggaran, penyalahgunaan wewenang, hingga praktik nepotisme.
Situasi seperti ini bukan sekadar teori, melainkan realitas yang terlihat di banyak negara. Kasus-kasus korupsi besar yang kerap menghiasi pemberitaan menunjukkan betapa kekuasaan dapat berubah menjadi alat pemuas ambisi ketika tidak dikendalikan. Lebih parah lagi, mereka yang memiliki kekuasaan sering kali menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan posisinya, seperti memanfaatkan anggaran publik untuk kegiatan politik terselubung, membangun citra dengan fasilitas negara, atau mengendalikan kebijakan agar tetap menguntungkan mereka.
Akibatnya, rakyat hanya menjadi objek yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan, bukan subjek yang dilayani. Dalam konteks inilah penyimpangan kekuasaan muncul: bukan karena rakyat tidak bersuara, tetapi karena suara mereka sering kali tidak mampu menembus benteng kepentingan elit politik
.
2. Kebijakan Publik yang Tidak Berpihak pada Rakyat Membuktikan Prioritas Kekuasaan yang Salah Arah
Kebijakan adalah wujud paling konkret dari bagaimana kekuasaan bekerja. Ketika sebuah pemerintahan mengutamakan rakyat, maka kebijakan-kebijakan yang lahir akan mencerminkan keberpihakan pada kebutuhan publik—mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga perlindungan sosial. Namun jika kebijakan yang dihasilkan lebih mengutamakan kepentingan elit, maka jelaslah bahwa kekuasaan telah berubah menjadi alat dominasi. Banyak negara mengalami apa yang disebut para peneliti sebagai state capture, yaitu ketika kelompok berkepentingan tertentu mampu mengarahkan regulasi dan kebijakan sehingga menguntungkan kelompok tersebut, meskipun merugikan masyarakat luas.
Contoh paling umum dapat terlihat pada kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan perusahaan besar tetapi meminggirkan usaha kecil, atau kebijakan sumber daya alam yang lebih berpihak pada investor daripada masyarakat lokal yang tanahnya terancam. Ketika kepentingan investor atau elite politik lebih dominan daripada suara rakyat, maka terjadilah kesenjangan yang semakin melebar. Perebutan lahan, ketimpangan akses pendidikan, dan mahalnya biaya kesehatan adalah sebagian dari masalah yang muncul akibat orientasi kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak dikelola dengan prinsip keadilan hanya akan menghasilkan kebijakan yang semakin meminggirkan rakyat. Pada akhirnya, rakyat akan merasa seolah-olah negara tidak lagi menjadi pelindung, melainkan sekadar institusi yang bekerja untuk kelompok tertentu.
3. Perebutan Kekuasaan Antarelite Menggeser Fokus dari Pelayanan Publik
Salah satu tanda paling jelas bahwa kekuasaan dianggap lebih penting daripada rakyat adalah ketika elite politik terjebak dalam konflik internal yang berkepanjangan. Perebutan jabatan, intrik politik, saling menjatuhkan, dan konsolidasi partai sering kali menghabiskan energi para pemimpin. Ketika mereka terlalu fokus pada agenda internal kekuasaan, maka kebutuhan rakyat hanya menjadi hal sekunder—bahkan sering kali terlupakan.
Konflik antarelite tidak hanya menguras sumber daya politik, tetapi juga dapat memicu ketidakstabilan nasional. Pemerintah menjadi kurang efektif karena terlalu sibuk mempertahankan legitimasi atau menghadapi serangan politik dari lawan mereka. Dalam kondisi seperti itu, program pembangunan berjalan lambat, pelayanan publik terbengkalai, dan rakyat menjadi korban dari perebutan kekuasaan yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan mereka.
Dalam keadaan tertentu, konflik politik juga dapat mengorbankan kebijakan yang sebenarnya penting, tetapi ditunda atau bahkan dibatalkan karena tidak cocok dengan agenda kekuasaan pihak tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah menggeser fokus utama pemerintahan: dari pelayanan publik menjadi pertarungan kepentingan.
4. Pengabaian Rakyat Menggerus Kepercayaan Publik dan Merusak Demokrasi
Demokrasi hanya dapat berjalan jika ada kepercayaan timbal balik antara rakyat dan pemimpinnya. Ketika negara bekerja untuk rakyat, kepercayaan itu tumbuh. Namun ketika rakyat melihat pemimpin sibuk mempertahankan jabatan dan mengabaikan aspirasi publik, kepercayaan itu perlahan terkikis. Masyarakat mulai merasa bahwa suara mereka tidak lagi berpengaruh, sehingga partisipasi publik menurun. Mereka menjadi apatis terhadap pemilihan umum, malas mengikuti diskusi publik, dan ragu bahwa perubahan dapat terjadi melalui mekanisme politik yang ada.
Dalam jangka panjang, kondisi ini berbahaya bagi demokrasi. Ketidakpercayaan dapat memicu konflik sosial, meningkatnya polarisasi, dan bahkan mendorong munculnya gerakan-gerakan yang menolak legitimasi pemerintah. Negara yang kehilangan kepercayaan rakyatnya akan sulit stabil karena rakyat merasa tidak lagi menjadi bagian dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Pada titik ini, demokrasi tidak hanya melemah, tetapi dapat runtuh perlahan jika tidak segera diperbaiki.
5. Kekuasaan yang Tidak Berorientasi pada Rakyat Menghambat Kemajuan Bangsa
Sejarah telah menunjukkan bahwa negara-negara maju bukanlah negara yang kekuasaannya terkonsentrasi pada elit, melainkan negara yang pemerintahan dan masyarakatnya bekerja bersama membangun peradaban. Ketika pemimpin lebih memilih mempertahankan kekuasaan daripada melayani, maka pembangunan akan berjalan stagnan. Program sosial, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tidak berkembang sesuai kebutuhan zaman. Akibatnya, kualitas hidup rakyat menurun, daya saing bangsa melemah, dan kesempatan menuju kemajuan semakin kecil.
Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan. Tanpa itu, kekuasaan hanya akan menjadi mesin penghambat kemajuan.

Pada akhirnya, ketika kekuasaan ditempatkan di atas kepentingan rakyat, maka negara sedang dihadapkan pada ancaman serius terhadap kualitas demokrasi dan masa depan bangsanya. Pemimpin yang mengutamakan kekuasaan bukan hanya mengabaikan tanggung jawab moralnya, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik yang menjadi penopang utama sebuah pemerintahan. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat perhatian justru hanya dijadikan simbol legitimasi politik, sementara keputusan-keputusan penting lebih banyak ditentukan oleh kepentingan sempit yang menguntungkan kelompok tertentu.
Dalam kondisi demikian, rakyat kehilangan ruang untuk didengarkan, sementara kekuasaan terus bergerak jauh dari tujuan awalnya. Dampaknya pun meluas: kebijakan publik menjadi tidak adil, pelayanan masyarakat terhambat, ketimpangan sosial meningkat, dan potensi konflik semakin besar. Lebih jauh lagi, negara terancam stagnasi karena energi para pemimpin tersita oleh agenda kekuasaan, bukan pembangunan. Sejarah juga mengajarkan bahwa bangsa yang membiarkan kekuasaan berjalan tanpa kontrol dan tanpa keberpihakan pada rakyat akan sulit berkembang, bahkan dapat terperosok ke dalam krisis multidimensi.
Karena itu, penting bagi setiap pemimpin untuk kembali menegaskan komitmennya pada amanah yang diemban. Kekuasaan hanyalah sarana, sedangkan tujuan utamanya adalah kesejahteraan rakyat. Negara akan kokoh hanya ketika kepentingan rakyat ditempatkan di atas kepentingan pribadi, golongan, dan politik. Keadilan, transparansi, akuntabilitas, serta keberanian mendengar aspirasi publik adalah fondasi yang tidak boleh ditawar.
Kini, tantangannya bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi masyarakat. Rakyat perlu mengawasi, bersuara, dan terus menuntut agar kekuasaan dijalankan sesuai tujuannya. Ketika pemimpin dan rakyat bersama-sama menjaga integritas kekuasaan, maka negara dapat berjalan menuju masa depan yang lebih adil, lebih kuat, dan lebih manusiawi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kekuasaan bukan untuk diagungkan, tetapi untuk digunakan sebagai alat pengabdian. Sebuah bangsa hanya dapat tumbuh ketika mereka yang memegang kendali memahami bahwa kekuasaan tanpa keberpihakan pada rakyat hanyalah kehampaan yang akan merugikan generasi hari ini dan generasi mendatang.

 

Penulis: Laellatul Hasanah Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram

Continue Reading

Previous: BAZNAS Lotim Salurkan Bantuan Pengobatan Kolektif, Ringankan Beban Puluhan Keluarga Pasien
Next: Lombok Timur Menuju Pusat Percontohan Nasional, Menanti Kunjungan Sejarah Ketua Baznas RI

Berita Terkait

f3c7e117-8203-4e63-9b6b-159232dfb52e
  • Artikel/Opini

Kampanye Online: Bagaimana Algoritma Sosial TikTok Membentuk Pemilih Generasi Z

Lalu Rosmawan December 10, 2025
ab8a690b-0d75-4539-bbc3-68d2c061fbae
  • Artikel/Opini

Belajar di Bawah Reruntuhan: Politik Komunikasi di Sekolah Pascagempa

Lalu Rosmawan December 10, 2025
abb98d71-d393-4b6b-873a-6756ae2c9424
  • Artikel/Opini

Taman Sandik, Tempat yang Pernah Hidup

Lalu Rosmawan December 10, 2025

Berita Terkini

  • UNU NTB Hadirkan Edukasi Kampus yang Inspiratif di SMAS Islam Al-Ikhwan Desa Sesait KLU
  • Monitoring Awal KDKMP Ampenan Utara Pasca Pembiayaan Bank NTB Syariah
  • Indosat Proyeksikan Lonjakan Trafik >17% di Bali–Nusa Tenggara, Optimalkan Kapasitas di 7800 BTS untuk Nataru 2026
  • Menguatkan Sinergi dan Kesiapsiagaan, BAZNAS Se-NTB Hasilkan 40 Resolusi Strategis
  • NTB Luncurkan Zero Down Time Pertama di Indonesia

Kanal Berita

  • Artikel/Opini
  • Budaya
  • Ekonomi
  • Hukum
  • Indeks
  • Inspirasi Kampung
  • Kesehatan
  • Kuliner Kampung
  • Olah Raga
  • Otomotif
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Peristiwa
  • Politik
  • Sosial Keagamaan
  • Teknologi
  • Wisata Kampung

Baca juga

WhatsApp Image 2025-12-14 at 12.38.38
  • Pendidikan

UNU NTB Hadirkan Edukasi Kampus yang Inspiratif di SMAS Islam Al-Ikhwan Desa Sesait KLU

M Yakub Yakub December 14, 2025
91a29822-99b5-489b-abed-00ed417e8724
  • Ekonomi

Monitoring Awal KDKMP Ampenan Utara Pasca Pembiayaan Bank NTB Syariah

adminkampung December 13, 2025
3d2af613-436d-4c3b-a514-ab1099e338ac
  • Ekonomi

Indosat Proyeksikan Lonjakan Trafik >17% di Bali–Nusa Tenggara, Optimalkan Kapasitas di 7800 BTS untuk Nataru 2026

adminkampung December 13, 2025
gambarrr_20251213_143317_0000
  • Sosial Keagamaan

Menguatkan Sinergi dan Kesiapsiagaan, BAZNAS Se-NTB Hasilkan 40 Resolusi Strategis

Ibra_kmrb December 13, 2025

SEKRETARIAT


Jl.Banda Sraya Gg.sakura No.5 Pondok Indah Kel.Pagutan Barat Kota Mataram
Nomor Kontak: 089637675034
Email: kampungmedia2008@gmail.com


Konsultan Media: Lombok Inisiatif – Akta Notaris Nomor 135 tanggal 14 Maret 2015.
Alamat: Jalan Bhanda Sraya 23 Griya Pagutan Indah Mataram.

REDAKSI

Publisher VIP (Visual Informasi & Publikasi) PRODUCTION & Lombok Kreatif.

Chief Executive Officer:
Asrobi Abdihi
Chief of Content:
Fakhrul Azhim
Manager Operations / Editor in Chief :
Afifudin
Sekretaris Redaksi: Neneng Pebriana

TIM REDAKSI

Kepala Kampung / Pemred :
Asrobi Abdihi
Redaktur Pelaksana :
Fakhrul Azhim
Editor Senior : Ncep
Editor: Abdi, Achim Nadfia,
Reporter: Muhammad Safwan, Jumaili, Ncep

DEWAN PAKAR

Suaeb Qury, S.H.I.

KONTRIBUTOR

1.Muhammad Safwan (Kota Mataram) 2.Jumaili (Lombok Tengah) 3.Hasan Karing ( KM Brang Ene Sumbawa) 4.Adi Pradana (Kab.Bima)5.Opick Manggelewa. KM Manggelewa (Dompu) 6.Joko KM Panto daeng Sumbawa 7.Ryan KM Gempar Bima 8.Faidin (KM kempo) Dompu 9.Alimuddin (KM Maluk) KSB 10.Randal Patisamba (KM Rampak Nulang) 11.Ibrahim Arifin (KM Rensing Bat) Lotim 12.Yakub (KM SasakTulen) Lobar 13.Alamsyah (KM Tembe Nggoli) Bima 14.M. Hariyadin (KM. Sarei Ndai Kota Bima 15.Andre Kurniawan (KM.Masbagik) Lotim 16.Ali Nurdin (KM. Taliwang) Sumbawa 17.Hajrul Azmi ( KM. Sajang Bawak Nao ) Loteng 18.Desa Wisata Masmas Loteng 19.Abdul Satar Lobar 20.Nurrosyidah Yusuf 21.Masyhuri (sambang kampung),22.Joko Pitoyo, 23.Asep KM Lobar, 24. Abu Ikbal, 25. Romo. 26. Alin 27. Tawa, 28. Andi Mulyan Mataram,29. Asri (KM Sukamulia), 30. Efan (Kampung Media Lengge Wawo-Bima) 31. Aulia Abdiana

Copyright © Kampung Media.