Di era Menteri Keuangan baru, media menyoroti kebijakan fiskal yang lebih pro-pertumbuhan dibandingkan era sebelumnya, seperti penyaluran dana kas Rp200 triliun ke bank BUMN untuk memperkuat likuiditas dan mendorong kredit. Kebijakan ini disambut dengan optimisme untuk stimulasi ekonomi, namun juga menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas makro dan kredibilitas fiskal. Di sisi lain, media sosial membingkai kebijakan ini secara lebih ekstrem, baik sebagai peluang kebangkitan ekonomi maupun ancaman terhadap keadilan sosial.
Kalau dilihat lebih kritis, kebijakan ini memang ambisius. Menaruh dana hingga ratusan triliun di bank BUMN bukan keputusan kecil. Secara teori, langkah ini bisa memperkuat likuiditas dan memperbanyak kredit produktif. Tapi problemnya, sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan ekspansif seperti ini sering kali bocor ke sektor yang kurang produktif atau justru dinikmati kelompok usaha besar saja. Ketika arus kredit tidak tepat sasaran, dampak pertumbuhan hanya terasa di permukaan, sementara risiko fiskalnya tetap ditanggung negara.
Di sinilah pentingnya transparansi dan governance yang kuat. Tanpa pengawasan melekat, kredit besar-besaran bisa membuka ruang moral hazard, terutama jika bank hanya mengejar target penyaluran tanpa menilai kualitas debitur. Jadi, walaupun narasinya “pro-pertumbuhan”, sebenarnya ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan agar kebijakan ini tidak menjadi beban fiskal di masa depan.
Media arus utama umumnya menjaga posisi netral-kritis. Mereka melaporkan sisi positif kebijakan, tetapi tetap mengutip analis yang mempertanyakan kesiapan sistem keuangan kita. Sikap ini cukup sehat karena memberi ruang bagi publik untuk melihat bahwa kebijakan ekonomi tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih. Namun media sosial punya dinamika lain. Narasinya lebih cepat, reaktif, dan sering kali emosional. Kebijakan yang seharusnya diperdebatkan secara data malah berubah jadi bahan drama politik: ada yang memuja berlebihan, dan ada pula yang menuduh seolah-olah kebijakan ini pasti gagal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa framing media ikut menentukan arah opini publik. Kebijakan fiskal sebesar ini seharusnya dibahas dengan pendekatan berbasis bukti, bukan sekadar berbasis sentimen. Kalau media sosial terus menciptakan polarisasi, publik jadi kehilangan kemampuan melihat isu ekonomi secara rasional. Pada titik ini, pemerintah harus lebih aktif menjelaskan proses, risiko, dan mekanisme pengawasan secara rinci, bukannya hanya menonjolkan narasi keberhasilan.
Secara akademik, kebijakan fiskal ekspansif selalu punya dua sisi: potensi mendorong pertumbuhan dan potensi menciptakan ketidakstabilan. Efektivitasnya bergantung pada desain kebijakan, pengawasan lembaga keuangan, dan kualitas koordinasi antarinstansi. Tanpa itu, kebijakan besar hanya akan menambah volatilitas dan membuat ruang fiskal semakin sempit di masa depan.
Pada akhirnya, menurut saya, tantangan terbesar di era Menteri Keuangan baru bukan hanya membuat kebijakan “besar”, tetapi memastikan kebijakan tersebut akuntabel dan dipahami publik. Media berperan penting sebagai penjaga informasi, tapi media juga bisa menjadi sumber bias kalau tidak hati-hati. Kombinasi antara kebijakan besar, media yang bergerak cepat, dan publik yang sensitif terhadap isu ekonomi membuat proses komunikasi menjadi krusial.
Masyarakat berhak tahu bukan hanya apa yang dilakukan pemerintah, tapi juga bagaimana risiko dikelola. Tanpa itu semua, kebijakan fiskal sebesar apa pun akan kehilangan legitimasi di mata publik.
Penulis: Alung wulandari Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
