Dalam beberapa bulan terakhir, perdebatan soal reformasi subsidi energi dan kebijakan transisi kendaraan listrik kembali memanas. Pemerintah mengklaim langkah ini sebagai bagian dari strategi pembangunan hijau dan efisiensi fiskal. Namun di ruang publik, narasi yang muncul jauh lebih bising dan terpecah. Media arus utama berupaya menjaga keseimbangan, menyoroti manfaat ekonomi jangka panjang, tapi juga mengangkat risiko sosial, seperti kenaikan harga dan ketimpangan akses energi. Sementara itu, di media sosial, isu ini berubah menjadi arena pertarungan ideologis yang sarat emosi dan identitas.
Di platform seperti X (Twitter), TikTok, dan Facebook, framing yang muncul bukan lagi tentang desain kebijakan, melainkan tentang siapa yang diuntungkan. Kelompok pro pemerintah menyebut reformasi subsidi sebagai bukti keberanian politik dan langkah progresif menuju ekonomi hijau. Sebaliknya, kelompok penentang menuduh kebijakan ini sebagai bentuk ketidak adilan ekonomi yang menekan rakyat kecil. Diskursus publik pun terjebak dalam logika “pro pemerintah” versus “anti rakyat”, tanpa ruang bagi perdebatan berbasis data.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana spiral of silence (Noelle Neumann, 1974) bekerja dalam konteks digital. Ketika opini mayoritas atau yang tampak dominan di media sosial mendominasi percakapan, banyak pengguna memilih diam agar tidak diserang atau dikucilkan. Mereka yang memiliki pandangan berbeda, terutama yang moderat atau analitis, lebih memilih menahan diri daripada menjadi sasaran cyberbullying atau cancel culture. Akibatnya, ruang publik digital dipenuhi gema dari dua kutub yang saling memperkuat, sementara suara rasional tenggelam di tengah kebisingan algoritma.
Di era politik identitas yang mengeras, media sosial bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol afiliasi. Like, repost, dan komentar tidak lagi dibaca sebagai opini pribadi, melainkan penanda keberpihakan. Inilah yang membuat tekanan sosial di ruang digital begitu kuat. Seseorang yang mencoba netral sering dianggap tidak loyal, dan yang kritis dianggap berseberangan. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan seharusnya menjadi sumber refleksi, bukan alasan untuk membungkam.
Masalahnya, spiral of silence yang berakar di dunia digital punya efek nyata terhadap kualitas kebijakan publik. Ketika publik takut berbicara, ruang deliberasi menyempit. Pemerintah kehilangan masukan substantif dari warga yang sebenarnya punya perspektif penting. Media pun ikut terpengaruh, karena tekanan popularitas di media sosial mendorong mereka untuk menyesuaikan narasi agar tetap relevan dengan arus dominan. Pada akhirnya, yang muncul bukanlah diskursus publik yang sehat, melainkan arus opini yang dikendalikan oleh logika viralitas.
Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang publik digital berubah dari tempat berbagi ide menjadi medan pertempuran identitas. Diskusi rasional sering kalah cepat dari narasi emosional, dan kebenaran dikalahkan oleh popularitas. Dalam konteks seperti ini, peran media menjadi krusial bukan sekadar melaporkan peristiwa, tetapi menjaga keseimbangan wacana agar publik tidak terseret dalam spiral keheningan yang menyesatkan.
Pemerintah pun harus belajar berkomunikasi secara lebih transparan dan partisipatif. Penjelasan tentang kebijakan, termasuk risiko dan tantangan, perlu disampaikan secara terbuka agar publik tidak hanya menerima narasi tunggal dari media sosial. Sementara masyarakat perlu membangun keberanian untuk berdiskusi dengan data, bukan sekadar dengan emosi kelompok.
Pada akhirnya, tantangan terbesar di era politik identitas yang mengeras bukan hanya soal siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang berani berbicara dengan jujur di tengah tekanan opini massa. Jika kita terus membiarkan spiral of silence berputar tanpa perlawanan, maka kebebasan berpendapat salah satu fondasi demokrasi akan perlahan tereduksi menjadi sekadar gema dari suara mayoritas yang paling nyaring.
Penulis: Safa Maulida Kaila Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
