Perkembangan media sosial di Indonesia tidak hanya menghadirkan ruang kreativitas, tetapi juga menciptakan tantangan baru dalam dinamika politik. TikTok, sebagai platform berbasis video pendek yang sangat populer di kalangan anak muda, kini menjadi salah satu arena utama penyebaran narasi politik. Dalam kenyataannya, TikTok tidak hanya menjadi media informasi, tetapi juga memperburuk polarisasi politik di Indonesia.
1. Algoritma TikTok yang Mempersempit Wawasan
TikTok bekerja melalui algoritma berbasis For You Page (FYP) yang menampilkan konten sesuai preferensi pengguna. Algoritma ini sebenarnya efektif, namun dalam konteks politik, ia berpotensi menciptakan echo chamber situasi ketika pengguna terus-menerus terpapar pada pandangan politik yang sama.
Sebagai akibatnya, pengguna tidak lagi melihat informasi yang beragam, melainkan hanya konten yang memperkuat keyakinan politik mereka. Ini menjadi faktor yang memperdalam jurang perbedaan antar kelompok politik.
2. Dominasi Konten Emosional yang Membelah Publik
Kultur TikTok mendorong konten singkat, cepat, dan penuh trigger emosional. Banyak kreator menggunakan musik dramatis, potongan pidato, atau editing yang provokatif untuk menarik perhatian. Konten seperti ini sering kali oversimplifikasi isu politik, bahkan tidak jarang bersifat manipulatif. Ketika video-video tersebut viral, reaksi publik menjadi emosional, bukan rasional. Inilah yang memicu polarisasi: masyarakat terpecah bukan berdasarkan analisis data, tetapi berdasarkan sentimen yang dibentuk dari cuplikan-cuplikan video.
3. Meningkatnya Politik Identitas di Ruang Digital
TikTok menjadi ruang subur bagi politik identitas. Dalam konteks Indonesia yang plural, konten berbasis identitas sangat mudah memancing konflik opini. Video tentang kelompok tertentu, capres tertentu, atau isu agama sering ditampilkan secara hiperbolis, sehingga memperkuat persepsi “kami” versus “mereka”. Ketika politik identitas dipertontonkan melalui format yang mudah dibagikan, polarisasi pun menyebar lebih cepat dibandingkan media sosial lain yang membutuhkan teks panjang atau diskusi lebih mendalam.
4. Minimnya Literasi Digital Pengguna Muda
Mayoritas pengguna TikTok adalah remaja dan dewasa muda. Kelompok ini masih berada pada tahap perkembangan identitas politik, sehingga mudah terpengaruh narasi yang dibingkai secara menarik tetapi tidak akurat. Ketika literasi digital masih lemah, informasi palsu, hoaks, dan framing politik yang menyesatkan lebih mudah diterima sebagai kebenaran. Akibatnya, ruang diskusi politik berubah menjadi ruang perdebatan saling menyerang, bukan saling memahami.
5. Dampak Nyata pada Perilaku Politik
Polarisasi politik di TikTok bukan hanya fenomena digital, tetapi memiliki dampak nyata. Perpecahan dalam keluarga, permusuhan antar teman, hingga kampanye hitam di dunia nyata merupakan gejala yang semakin terlihat menjelang masa-masa politik. Komentar-komentar yang penuh kebencian di TikTok sering kali mempengaruhi opini publik secara cepat, dan sayangnya lebih banyak memecah daripada mempersatukan.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, TikTok memang memberi ruang kreatif bagi generasi muda, tetapi dalam konteks politik, platform ini memperburuk polarisasi di Indonesia. Melalui algoritma yang menutup keragaman informasi, konten emosional yang mudah viral, politik identitas yang terus diangkat, serta minimnya literasi digital, TikTok menjadi sarana yang memperkeras polarisasi masyarakat.
Penulis: Alya Rohali Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
