
Oleh: Herianto (Kader Muda Golkar)
Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menarik perhatian publik, baik di dalam negeri maupun dunia internasional. Dengan tegas, Prabowo menyuarakan pentingnya gencatan senjata, penghentian kekerasan, dan solusi dua negara bagi perdamaian Palestina–Israel.
“Indonesia konsisten mendukung kemerdekaan Palestina. Kami menolak segala bentuk penjajahan dan kekerasan,” tegasnya.
Sebagai kader muda Golkar, saya menilai pidato ini bukan hanya sebuah pernyataan politik, tetapi juga langkah moral dan strategis yang menghidupkan kembali peran Indonesia di panggung global.
Sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia dikenal sebagai negara yang berani menyuarakan kepentingan bangsa-bangsa terjajah. Bung Karno kala itu menolak kolonialisme dalam bentuk apapun.
Pidato Prabowo di PBB melanjutkan tradisi itu. Indonesia kembali menegaskan politik luar negeri bebas-aktif: tidak tunduk pada blok manapun, namun aktif membela keadilan. Setelah sekian lama suara kita di forum dunia terasa melemah, kini kembali lantang.
Berbicara soal Palestina di forum internasional tidaklah mudah. Banyak negara memilih diam karena takut berhadapan dengan kekuatan besar dunia. Namun Prabowo memilih jalur berani: menegaskan hak Palestina, menyerukan gencatan senjata, dan mengingatkan dunia bahwa kekerasan hanya akan melahirkan penderitaan baru.
Sikap ini mengingatkan pada keberanian Bung Karno menolak Israel dalam Asian Games 1962 sebagai bentuk solidaritas. Dunia respek pada pemimpin yang konsisten menyuarakan nilai kemanusiaan.
Pidato Prabowo juga sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Sejak era Soeharto hingga B.J. Habibie, Indonesia tidak pernah surut mendukung Palestina. Bahkan pada 1988, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina. Kini, Prabowo melanjutkan konsistensi itu dengan menegaskan kembali posisi Indonesia di PBB.
Bagi generasi muda, pidato ini memberi pelajaran penting: politik luar negeri bukan sekadar urusan diplomasi, tetapi juga urusan nilai. Apakah kita memilih diam terhadap ketidakadilan, atau berani bersuara?
Sebagai kader muda Golkar, saya percaya sikap Prabowo adalah inspirasi agar anak muda tidak apatis pada isu global. Solidaritas terhadap Palestina adalah cermin solidaritas terhadap semua bangsa tertindas. Politik harus kembali menjadi ruang perjuangan moral, bukan semata perebutan kekuasaan.
Namun perjuangan tidak boleh berhenti pada pidato. Indonesia harus menindaklanjuti momentum ini dengan langkah konkret: memperkuat diplomasi melalui ASEAN, OKI, dan Gerakan Non-Blok; mendorong resolusi damai di PBB; serta meningkatkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina.
Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya menjadi “penyampai pesan”, tetapi benar-benar menjadi “jembatan perdamaian” yang diakui dunia.
Pidato Presiden Prabowo di PBB membuktikan bahwa Indonesia masih punya keberanian moral untuk membela yang benar. Dari Bung Karno di Konferensi Asia-Afrika, Soeharto di Gerakan Non-Blok, Habibie yang cepat mengakui Palestina, hingga kini Prabowo yang lantang di PBB semuanya adalah rangkaian konsistensi sejarah.
Sebagai kader muda Golkar, saya mendukung penuh sikap tersebut. Dunia mendengar kembali suara Indonesia. Kini tanggung jawab kita bersama adalah memastikan suara itu tidak padam, melainkan semakin kuat, hingga benar-benar terwujud kemerdekaan dan perdamaian bagi Palestina.