Publik kembali dikejutkan oleh pernyataan kontroversial dari seorang pejabat tinggi negara. Kali ini, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurizal, menjadi sorotan setelah pernyataannya bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) “tidak butuh ahli gizi” menjadi viral di berbagai platform sekitar 15-17 November 2025.
Pernyataan ini memicu kritik tajam, tidak hanya dari kalangan profesional gizi, tetapi juga dari masyarakat luas yang menaruh harapan besar pada program ini.
Meskipun permintaan maaf telah disampaikan pada 17 November 2025, pernyataan tersebut telanjur memicu keresahan masyarakat. Ini bukan sekedar kecerobohan verbal, melainkan representasi dari pola pikir yang mengingat dan meremehkan program itu sendiri.
Kontradiksi Inti: “Bergizi” Tanpa “Ahli Gizi”?
Inti masalahnya terletak pada nama program itu sendiri: “Makan Bergizi Gratis”. Kata “Bergizi” adalah tujuan utama program ini, yaitu memberikan asupan sehat untuk menambah nutrisi dan gizi anak-anak.
Lalu, bagaimana mungkin sebuah program yang bertujuan menyediakan makanan “bergizi” dapat dilaksanakan tanpa melibatkan keahlian “Ahli Gizi”?
Ahli gizi (nutritionist/dietitian) adalah profesional yang memiliki kompetensi ilmiah untuk menerjemahkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menjadi menu makanan yang aplikatif dan tepat sasaran. Peran mereka bukan sekadar meracik resep agar “terlihat sehat”.
Mereka bertugas memastikan bahwa setiap porsi makanan memenuhi standar presisi makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan mikronutrien (vitamin, mineral) yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak.
Profesionalisme vs Wacana Pelatihan Singkat
Para ahli gizi telah menempuh pendidikan bertahun-tahun untuk mendapatkan kompetensi ini. Wacana untuk mengganti peran vital mereka dengan rekrutmen dari pelatihan singkat selama tiga bulan bukan hanya tidak realistis, tetapi juga mengandung profesionalisme dan mengabaikan kompleksitas gizi manusia.
Jika program MBG dijalankan tanpa panduan ahli gizi, risiko kegagalannya sangat besar.
Gizi Tidak Seimbang: Siapa yang akan menjamin menu yang disajikan tidak tinggi gula, garam, dan lemak jenuh yang justru memicu masalah kesehatan baru?
Keamanan Pangan (Keamanan Pangan): Siapa yang akan mengawasi sanitasi, higienitas pengolahan, dan keamanan pangan dari dapur-dapur komunal? Kita tentu tidak lupa pada berbagai kasus keracunan makanan massal akibat kegagalan dalam pengolahan pangan.
Pemborosan Anggaran: Tanpa ahli gizi, program ini berisiko menjadi program “asal kenyang”. Ini adalah pemborosan anggaran triliunan rupiah yang tidak bisa gagal total mengatasi stunting dan justru menciptakan masalah baru seperti obesitas dini.
Menurut sy profesi DPR harus kembali ke fungsi utamanya,Fokus pada Pengawasan, Bukan Meremehkan Teknis
Sebagai Wakil Ketua DPR, tugas utama seharusnya mengawasi pemerintahan, termasuk program MBG. Pengawasan harus fokus pada anggaran, distribusi, dan output program (apakah stunting benar-benar turun?).
Pernyataan “tidak membutuhkan ahli gizi” justru sebaliknya: sebuah intervensi yang mendiskreditkan profesi yang menjadi jantung dari program itu sendiri. Publik kini menuntut pembuktian, bukan sekadar permintaan maaf. Klarifikasi bahwa pernyataan itu “dipelintir” tidaklah cukup.
Saran dan Jalan Keluar: Libatkan Ahlinya
Kesimpulannya, program Makan Bergizi Gratis bukan semata-mata soal memberi makan, tetapi memastikan makanan itu membuat anak-anak bergizi.
Agar program ini berjalan lancar, efektif, dan tidak merugikan siapa pun, beberapa langkah mutlak diperlukan:
Libatkan Organisasi Profesi Secara Sentral: Pemerintah harus segera menggandeng organisasi profesi seperti PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi Indonesia) dan PERGIZI PANGAN. Jadikan mereka ko-kreator dan auditor independen, mulai dari perencanaan menu nasional, standar operasional (SOP) pengelolaan, hingga evaluasi dampak gizi.
Transparansi Standar Gizi: Standar gizi, variasi menu, dan pedoman program teknis harus dipublikasikan secara transparan. Biarkan masyarakat, akademisi, dan profesional ikut mengawasi apakah standar tersebut sudah berbasis bukti ilmiah (evidence -based ).
Prioritaskan Keamanan Pangan: Membangun sistem audit yang ketat untuk higienitas dan keamanan pangan di setiap titik dapur komunal, dengan melibatkan ahli gizi, ahli teknologi pangan, dan BPOM.
Hanya dengan menyerahkan urusan teknis gizi kepada ahlinya, program MBG dapat benar-benar menjadi investasi jangka panjang untuk generasi emas Indonesia, bukan sekadar proyek pemborosan anggaran yang berakhir dengan kegagalan nutrisi.
Penulis: Fina Ainunnisa NIM. 240301009 (Mahasiswi UIN Mataram prodi komunikasi Penyiaran islam)
