
Mataram — Pemerintah Provinsi NTB melalui Diskominfotik NTB kembali menggelar Bincang Kamisan edisi ke-7 dengan tema “Kawin Belia dalam Budaya Sasak dan Akulturasinya.” Diskusi ini menghadirkan empat narasumber lintas latar belakang yang memberikan pandangan tajam dan konstruktif terhadap persoalan sosial yang kompleks ini.
Diskusi berlangsung hangat di ruang Command Center UPTD Pusat Layanan Digital Dinas Kominfotik NTB dan diikuti oleh audiens dari kalangan mahasiswa, aktivis perempuan, dan insan pers.
Dalam pemaparannya, Guru Besar Universitas Mataram, Prof. Galang, menjelaskan bahwa aturan regulatif terhadap kawin belia sudah tertuang dalam aturan agama dan hukum positif. Menurutnya, kawin belia bisa dianggap biasa, tetapi kawin belia di bawah umur tidak diperbolehkan, karena tidak dikehendaki oleh negara dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Saya sendiri melihat kawin belia dalam konsep kita saat ini adalah suatu bentuk pelanggaran hukum karena undang-undang kita tidak menghendaki itu. Inti dari negara hukum adalah bahwa negara, pemerintah maupun rakyat harus patuh terhadap hukum—bertindak dan berucap sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu, kalau terjadi kawin belia ini maka ini suatu bentuk pelanggaran hukum,” terangnya, Kamis, 26 Juni 2025.
Ia menambahkan, untuk mengentaskan praktik kawin usia belia, diperlukan sebuah gugus gerakan guna memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa perkawinan di bawah umur tidak dibenarkan. Edukasi terkait kesehatan reproduksi juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
“Pemerintah harus hadir. Ini tidak gampang, hasilnya pun tidak langsung terlihat. Namun dari sisi kesehatan, ekonomi, semuanya harus berjalan beriringan untuk menjelaskan dampak dari menikah belia ini,” imbuhnya.
Aktivis perempuan sekaligus Direktur Inspirasi NTB, Nurjanah, menyoroti bahwa pernikahan usia dini merupakan persoalan serius yang harus ditangani secara kolektif. Ia memaparkan bahwa pernikahan anak tidak hanya terjadi di Pulau Lombok, tetapi kasus tertinggi justru terjadi di Kabupaten Bima, diikuti oleh Sumbawa, Dompu, dan terakhir Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).
“194 kasus tertinggi bukan di Lombok, tapi di Kabupaten Bima. Kedua di Sumbawa, ketiga Dompu, dan keempat KSB,” jelasnya.
Ia juga menekankan dampak sosial dan psikologis pernikahan usia dini terhadap anak perempuan, serta pentingnya edukasi dan komitmen kuat dari pemerintah, termasuk melibatkan tokoh adat dalam menyuarakan nilai-nilai perlindungan anak.
“Kami temukan bahwa banyak kawin belia terjadi karena minimnya literasi gender dan tekanan sosial. Pendidikan seksualitas yang tidak berani dibicarakan kepada anak menjadi salah satu kendala. Standar moralitas kita masih menganggap topik seksualitas itu tabu. Ini bukan hanya persoalan individu, tetapi sistemik. Perlu pendekatan budaya yang kuat dan berkelanjutan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Adat Sasak, Dr. Lalu Sajim, menguraikan bahwa kawin belia dalam budaya Sasak bukanlah ajaran yang wajib, melainkan akulturasi nilai yang berkembang dari waktu ke waktu. Ia menegaskan bahwa adat Sasak sejatinya mendukung kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak-anak.
Ia mendukung gagasan gerakan sosialisasi “pentaholik” yang dimulai dari pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, dan komponen lainnya.
“Secara filosofis bisa dikatakan ada tiga hal ketika kita ingin memperbaiki keadaan dalam budaya Sasak, yaitu Peririq Bale Langgaq, Peririq Gubuk Gempeng, dan Peririq Gumi Paer. Dalam budaya Sasak, pernikahan adalah tanggung jawab besar. Dulu kawin muda bisa terjadi karena konteks sosial-ekonomi yang berbeda. Tapi zaman sudah berubah. Kami di Majelis Adat juga mendorong agar kawin belia tidak lagi jadi kebiasaan yang diteruskan secara membabi buta,” ujarnya.
Generasi muda dan aktivis digital, Farah Ginan, menambahkan bahwa dari perspektif anak muda, media sosial bisa menjadi alat edukasi dan advokasi yang efektif untuk mengubah pola pikir masyarakat mengenai pernikahan usia dini.
“Kita perlu narasi baru dari anak muda Lombok. Budaya bisa dilestarikan, tapi hak anak juga harus dijaga. Literasi digital dan kampanye berbasis komunitas bisa jadi kunci perubahan,” ungkapnya.
Diskusi ditutup dengan kesepakatan penting bahwa penyelesaian isu kawin belia membutuhkan pendekatan multidisipliner—hukum, sosial, budaya, dan pendidikan—serta kolaborasi antara pemerintah, tokoh adat, akademisi, dan masyarakat sipil.
Bincang Kamisan kali ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat narasi bahwa budaya harus menjadi alat perlindungan, bukan pembenaran atas praktik yang berpotensi merugikan generasi muda. (Pnd/Opk/Kominfotik NTB)