Ilustrasi foto google.
Riya adalah penyakit hati yang paling tersembunyi, namun dampaknya begitu besar dalam merusak amal. Banyak manusia beramal dengan tekun, beribadah dengan rajin, namun kehilangan nilai di sisi Allah karena niatnya bergeser dari “karena Allah” menjadi “karena manusia”. Nabi ﷺ telah memperingatkan bahwa riya termasuk syirik kecil suatu bentuk penyimpangan niat yang sering tidak disadari. Betapa berbahayanya hal ini, sebab riya tidak tampak di mata manusia, tapi jelas di hadapan Allah. Maka, menjaga hati agar tetap ikhlas adalah jihad yang paling berat namun paling mulia.
Riya berasal dari kata ra’a yang berarti “melihat” atau “memperlihatkan”. Artinya, seseorang melakukan suatu amal bukan untuk mencari ridha Allah, melainkan agar dilihat dan dipuji oleh manusia. Padahal hakikat ibadah adalah persembahan tulus kepada Allah semata. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad)
Riya ibarat debu yang menempel pada cermin hati. Ia membuat cahaya keikhlasan menjadi buram. Orang yang beramal karena ingin dilihat manusia sebenarnya sedang mempersekutukan niatnya menjadikan manusia sebagai bagian dari tujuannya. Padahal Allah telah berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahf [18]: 110)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap amal saleh harus dibersihkan dari segala bentuk pamrih kepada selain Allah. Betapapun besar amalnya, jika diiringi riya, ia menjadi sia-sia di akhirat. Nabi ﷺ bersabda:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Ta‘ala berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa beramal dan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya itu.” (HR. Muslim)
Inilah ancaman yang sungguh menakutkan. Amal yang seharusnya menjadi jalan menuju surga, justru berubah menjadi sebab kemurkaan Allah hanya karena niat yang tercemar. Maka, ulama terdahulu begitu berhati-hati menjaga niat mereka. Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”
Dalam kehidupan sehari-hari, riya bisa muncul dalam bentuk yang sangat halus. Seseorang bisa terjatuh dalam riya saat menata suara bacaan Qur’annya agar terdengar merdu di hadapan orang lain, atau ketika ia bersedekah lalu berharap namanya disebut dalam ucapan terima kasih. Bahkan dalam dunia modern, riya bisa menyusup lewat media sosial, ketika seseorang menampilkan ibadahnya untuk mendapatkan pujian dan apresiasi publik. Tanpa sadar, ia menukar ridha Allah dengan “like” manusia yang fana.
Padahal, yang paling berharga di sisi Allah bukanlah tampilan amal, melainkan keikhlasan niat di dalam dada. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 27)
Keikhlasan adalah ruh dari setiap amal. Amal tanpa ikhlas ibarat tubuh tanpa jiwa tampak hidup namun hakikatnya mati. Karena itu, setiap Muslim perlu melatih hati untuk selalu menghadirkan niat karena Allah di awal, tengah, dan akhir amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, sebelum memulai amal, tanyakanlah pada diri: “Untuk siapa aku melakukannya?” Jika jawabannya bukan untuk Allah, luruskanlah niat itu. Perbaharui terus niat agar amal tetap bersih dari penyakit hati. Dalam hal ini, doa menjadi senjata yang ampuh. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa agar kita terhindar dari riya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)
Doa ini menggambarkan bahwa riya sering kali terjadi tanpa disadari. Hati manusia terlalu mudah goyah, mudah ingin dipuji, mudah tergoda untuk terlihat baik di mata orang lain. Maka, tiada jalan lain kecuali terus berdoa dan berjuang membersihkan niat setiap hari.
Para salafus shalih sering menangis saat beribadah, bukan hanya karena takut pada azab Allah, tetapi karena takut amal mereka tidak diterima akibat riya yang tersembunyi. Mereka lebih khawatir pada penyakit hati daripada dosa besar yang tampak, karena riya dapat menghancurkan seluruh amal tanpa disadari.
Kita pun perlu merenung. Sudahkah amal kita benar-benar untuk Allah semata? Sudahkah kita meniatkan setiap sujud, sedekah, dan kebaikan hanya untuk-Nya? Ingatlah, semua pujian manusia akan lenyap bersama waktu, namun keridhaan Allah kekal selamanya.
Marilah kita berdoa sebagaimana doa indah berikut ini:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ كُلَّ أَعْمَالِنَا صَالِحَةً، وَاجْعَلْهَا لِوَجْهِكَ خَالِصَةً، وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهَا شَيْئًا
“Ya Allah, jadikan setiap amal kami amal saleh, dan jadikan ia ikhlas hanya karena wajah-Mu, serta jangan Engkau jadikan sedikit pun bagian bagi selain-Mu.”
Hanya dengan hati yang bersih dan niat yang tulus, amal sekecil apa pun akan bernilai besar di sisi Allah. Sedangkan amal yang besar namun tercemar riya, akan lenyap tanpa jejak. Maka, jagalah hati dari riya, sebagaimana engkau menjaga amal dari kerusakan. Karena di hadapan Allah, yang Ia nilai bukan banyaknya amal, tetapi beningnya niat dan tulusnya pengabdian.
