Pada 18 November 2025, dalam sidang DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026, RUU KUHAP resmi disahkan menjadi undang-undang.
Tujuan utama pengesahan ini adalah agar hukum acara pidana (KUHAP) di Indonesia menyesuaikan dengan hukum pidana pokok baru yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026, yakni UU KUHP (Undang‑Undang Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana) yang telah dikukuhkan sebelumnya.
Dengan kata lain, ada upaya memperkuat sistem hukum pidana di Indonesia agar tidak hanya KUHP yang berubah, tetapi juga prosedur pelaksanaannya (acara pidana) ikut diselaraskan.
Alasan Mendukung
1. Konteks pembaruan yang diperlukan
Karena UU KUHP baru akan berlaku di awal 2026, keberadaan KUHAP yang diselaraskan merupakan langkah logis agar sistem hukum pidana tidak jalan di tempat, namun memiliki kerangka prosedural yang konsisten.
Tanpa KUHAP yang diperbaharui, akan muncul miskompatibilitas antara undang-undang pokok (KUHP) dan prosedur acara pidana.
2. Apresiasi dari sebagian pihak
Mengapa banyak pihak memberikan apresiasi? Karena pengesahan ini menunjukkan bahwa legislatif dan pemerintah menyadari pentingnya reformasi hukum acara bukan sekadar mengubah norma pidana (KUHP) tetapi juga mekanisme bagaimana hukum pidana itu dijalankan.
3. Peluang modernisasi
RUU KUHAP yang disahkan diharapkan membawa prosedur yang lebih modern, transparan, dan sesuai dengan dinamika penegakan hukum masa kini termasuk pemberian perhatian pada hak-hak tersangka/terdakwa, dan bagaimana penyidikan serta persidangan dilaksanakan. Jika dilaksanakan dengan baik, ini bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana.
Kritik
Namun dan ini sangat penting ada sejumlah kritik signifikan dari masyarakat sipil dan akademisi yang tidak bisa diabaikan.
1. Partisipasi publik yang dinilai kurang bermakna
Meskipun DPR menyatakan bahwa pembahasan RUU telah berlangsung sejak Februari 2025 dan sejumlah pihak masyarakat sipil telah dipanggil.
Namun, kritik menyebut bahwa prosesnya terasa terburu-buru dan banyak elemen masyarakat merasa suara mereka belum tertampung dengan cukup baik.
Dalam kata lain: meskipun secara formal partisipasi terjadi, kualitas dan kedalaman partisipasi tersebut dipertanyakan.
2. Kekhawatiran perluasan kewenangan penegak hukum
Beberapa pasal dalam RUU KUHAP dinilai membuka peluang penyalahgunaan, khususnya terkait penyidik (contoh: kewenangan PPNS, polisi) yang dianggap semakin besar tanpa pengawasan yang memadai.
Misalnya, kekhawatiran bahwa prosedur acara pidana dapat dilakukan dengan sedikit pengawasan saat tahap penyidikan dan bahwa tersangka/terdakwa memiliki posisi yang kurang kuat dalam hal perlindungan hak-hukumnya.
3. Waktu transisi yang dianggap sempit dan ambang risiko implementasi
Karena UU KUHP baru akan diberlakukan 2 Januari 2026, waktu untuk mensosialisasikan dan mempersiapkan sistem acara pidana baru menjadi sangat terbatas. Kritik muncul bahwa implementasi tanpa masa transisi cukup bisa memunculkan kekacauan atau ketidakpastian hukum.
Ini menjadi persoalan apabila aparat dan lembaga peradilan belum siap dengan prosedur baru, atau masyarakat belum memahami hak dan kewajibannya dalam kerangka baru tersebut.
Posisi Opini Saya
Secara keseluruhan, saya berpendapat bahwa pengesahan RUU KUHAP adalah langkah strategis dan diperlukan, namun harus diiringi dengan kehati-hatian, transparansi, dan kesiapan implementasi agar tujuan reformasi penegakan hukum pidana tidak malah menghasilkan efek negatif.
Positifnya: Reformasi acara pidana memang harus terjadi. Jika hanya KUHP yang diperbarui tanpa acara pidana yang memadai, maka bisa terjadi ketidakkonsistenan yang merugikan masyarakat termasuk tersangka/terdakwa dan korban.
Tantangannya: Pengesahan saja belum cukup yang jauh lebih penting adalah bagaimana undang-undang tersebut diimplementasikan dengan benar, bagaimana lembaga penegak dan peradilan dilatih, dan bagaimana masyarakat diberi tahu hak-haknya.
Proses demokratis: Saya menilai bahwa seharusnya proses pembahasan bisa lebih terbuka, lebih melibatkan masyarakat sipil secara substantif — bukan sekadar formalitas konsultasi — karena prosedur acara pidana menyangkut hak-asasi, kebebasan individu, dan keadilan.
Pengawasan dan pengendalian: Reformasi harus dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat agar kewenangan baru tidak menjadi sarang penyalahgunaan. Lembaga peradilan dan mekanisme kontrol eksternal (ombudsman, pengawas independen) harus diperkuat.
Sosialisasi dan transisi: Karena masa transisi yang relatif singkat, maka pemerintah dan DPR-RI harus memastikan bahwa seluruh aktor—penegak hukum, lembaga peradilan, masyarakat umum dipersiapkan dengan baik: pelatihan, regulasi pelaksanaan, panduan praktis, kampanye publik.
Kesimpulan
Pengesahan RUU KUHAP pada 18 November 2025 memang dapat diapresiasi sebagai upaya pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia — terutama karena hubungan eratnya dengan pelaksanaan UU KUHP yang akan berlaku pada 2 Januari 2026. Namun, apresiasi ini harus disertai kewaspadaan: tanpa implementasi yang matang dan pengawasan yang kuat, serta partisipasi masyarakat yang lebih substansial, reformasi ini bisa jadi tidak akan mencapai potensi terbaiknya malah bisa mengundang kritik baru atau ketidakadilan dalam praktik.
Saya menyarankan agar kita sebagai masyarakat terus memantau pelaksanaan undang-undang ini, menuntut keterbukaan informasi terkait regulasi pelaksanaannya, dan memastikan bahwa hak-hak warga negara dalam proses pidana benar-benar terlindungi.
Penulis: Deswita Maharani NIM 240301013 (Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram)
