

Mataram — Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Nusa Tenggara Barat menggelar Tasyakuran Harlah ke-11 dengan penuh haru, hangat, dan refleksi sejarah pada Kamis, (11/12) di Ballroom Atqia UNU NTB. Kisah itu diceritakan oleh Prof. Dr. H. Fathul Anam, M.Si, Ketua Forum Rektor LPTNU sekaligus Rektor UNU Sidoarjo (UNUSIDA) yang mengenang kembali sejarah perjalanan awal pendirian UNU NTB, tentang bagaimana beliau mendampingi almaghfurlah TGH. Ahmad Taqiuddin Manshur, sang pendiri UNU NTB di bulan September 2014. Pada masa itu, setelah izin operasional UNUSIDA turun, PBNU mengamanahkan dirinya untuk mendampingi pendirian 3 UNU lainnya yaitu UNU NTB, UNU Blitar, dan UNU Sunan Giri.
Prof. Anam kemudian menceritakan detik-detik menentukan sebelum keluarnya izin pendirian UNU NTB, ketika PBNU meminta hanya 10 dari 14 program studi yang boleh diajukan.
“Saya masih ingat betul, pukul tiga dini hari kami berdiskusi panjang soal 4 prodi mana yang harus dihilangkan. Tuan Guru Taqiuddin saat itu tidak berani memutuskan dan menyerahkan sepenuhnya kepada saya. Beliau lalu berkata, ‘Pak Anam, sampai kapanpun, sampéyan adalah pendiri UNU NTB’”, kenangnya.
Pesan tersebut membuatnya merasa terpanggil untuk terus membersamai UNU NTB. Termasuk ketika proses akreditasi pertama UNU NTB, dirinya bahkan membawa delapan orang dosen UNUSIDA untuk mendampingi secara langsung. Namun karena ada agenda penting yang harus dihadiri, beliau memutuskan kembali pulang ke Sidoarjo. Ternyata sehari setelah kepergiannya dari UNU NTB, terjadi peristiwa gempa Lombok tahun 2018. Baginya, semua itu adalah bagian dari sejarah kedekatan emosional UNUSIDA dan UNU NTB.
“UNU NTB telah melewati begitu banyak fase. Tasyakuran hari ini adalah momentum untuk bersyukur karena kampus ini terus berkembang dan insyaAllah diberi kemudahan oleh Allah untuk mewujudkan cita-cita besarnya,” lanjutnya.
Masih dalam refleksi yang sama, Prof. Anam menyampaikan harapan penting agar 43 perguruan tinggi NU yang berada di bawah PBNU terus berkembang dan berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Salah satu contohnya, UNUSIDA kembali meraih Anugerah Diktisaintek 2025 untuk yang kedua kalinya bersama UNU Yogyakarta dan UNU Sidoarjo. Kepada UNU NTB, ia sangat yakin masa depannya akan jauh lebih lebih baik lagi sebagai rumah ilmu yang tumbuh dari tradisi NU.
Lanskap Pengembangan PTNU
Tasyakuran ini semakin istimewa dengan hadirnya Sekretaris Jenderal LPT NU, Dr. rer. Pol. M. Faishal Aminuddin, S.S., M.Si, yang menyampaikan arah besar dan tantangan yang dihadapi perguruan tinggi NU dalam satu dekade terakhir. Ia membuka dengan sebuah pertanyaan umum dari masyarakat:
_”Apa iya orang NU bisa bikin universitas?”_
Pertanyaan ini dijawab dengan penegasan kuat bahwa semangat pendirian PTNU pada satu dekade terakhir tidak lagi berfokus pada ilmu keagamaan saja, melainkan juga pada bidang non-keagamaan yang sangat dibutuhkan, mulai dari teknik, kedokteran, hingga ilmu eksakta.
Tantangan terbesar bagi PTNU, menurut Prof. Faishal, adalah ketersediaan SDM dosen di bidang eksakta tersebut. Banyak dokter di PTNU yang harus ‘dipinjam’ dari instansi lain demi mengejar ketertinggalan. Karena itu, kampus NU dituntut mampu menjalankan fungsi sejatinya sebagai perguruan tinggi: unggul dalam mutu dan relevansi, tidak hanya megah dalam kuantitas.
Dalam konteks inilah beliau memberikan apresiasi khusus kepada UNU NTB, terutama kepemimpinan Rektor Dr. Baiq Mulianah, M.Pd.I, perempuan pertama di lingkungan PTNU yang berhasil membawa kampus meraih akreditasi Baik Sekali. Ia kemudian menyoroti aspek gedung dan infrastruktur pendidikan tinggi. Menurutnya, gedung adalah sarana, bukan tujuan. Ia mencontohkan bagaimana kampus-kampus di Eropa dibangun oleh negara, sementara kampus-kampus ternama di Amerika dibangun oleh swasta, sehingga tidak ada kampus besar yang berdiri dari SPP mahasiswa. Yang terpenting adalah sarana yang memadai, bukan kemewahan. Beliau juga menggambarkan bagaimana kampus di Jepang saja yang dibangun sejak 1960-an masih kokoh hingga kini karena fungsinya dijaga dengan baik.
Memasuki aspek pendidikan, Prof. Faishal menekankan perubahan besar antara mahasiswa dahulu dan mahasiswa hari ini. Mahasiswa era sekarang sudah dengan mudahnya dapat mengakses jurnal internasional, buku digital, dan perkembangan ilmu terkini di seluruh dunia tanpa harus belajar di kampus besar dan mahal. Karena itu, tidak ada lagi alasan bagi mahasiswa UNU NTB untuk minder atau merasa kurang informasi.
“Mahasiswa zaman sekarang punya akses ke ilmu yang sama dengan kampus manapun di dunia. Jadi tidak ada alasan minder, UNU NTB tidak kalah dari kampus lain.”, tegasnya.
Penjelasan tersebut mengantarkan pada satu pandangan penting bahwa pendidikan tinggi tidak didesain semata-mata untuk membuat orang bekerja. Jika hanya ingin pekerjaan, sekolah vokasi sudah cukup. Tapi sebuah perguruan tinggi, mampu menyediakan lebih banyak pilihan dalam hidup, membentuk kapasitas untuk memperbaiki masyarakat, menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraan publik, membangun teknologi, dan menjawab permasalahan di tengah masyarakat. Karena itu, perguruan tinggi harus menjadi rumah ilmu, tempat berbagai pertanyaan masyarakat dapat dijawab, seperti: _”mengapa terjadi banjir? apa penyebab sebuah fenomena sosial? bagaimana teknologi dapat menyelesaikan persoalan?”_. Semua jawaban itu harus dapat ditemukan di dalam kampus.
Dalam melengkapi paparannya, Prof. Faishal mengingatkan pentingnya mahasiswa ketika ia sudah menjadi alumni, tetap terkoneksi dengan almamaternya. Di banyak negara, terutama Amerika, alumni memberikan kontribusi besar kepada kampus karena merasa pendidikan tinggi telah berjasa mengajarkan berbagai macam ilmu serta membukanya menemukan banyak jalan hidup. Budaya inilah yang mesti tumbuh di kampus-kampus NU.
Kepada para dosen dan civitas akademika, beliau menitipkan pesan bahwa menjadi dosen membutuhkan kesabaran. Mahasiswa masa kini memiliki akses informasi yang luas dan kritis, meski secara mental tidak selalu sama kuatnya dengan mahasiswa 40 tahun lalu. Karena itu, kampus harus menghadirkan iklim akademik yang membuat mahasiswa kerasan untuk mengembangkan ilmu dan berkontribusi bagi UNU NTB. Kampus NU, katanya, hanya akan besar bila melibatkan banyak sumber daya secara bersama-sama.
Waktu Terbaik Mengejar Guru Besar Adalah Sekarang
Badan Penyelenggara Pendidikan (BPP) UNU NTB, Prof. Dr. Ir. H. Manshur Ma’shum, Ph.D, pada momment tasyakuran ini turut memberikan dorongan moral kepada para dosen. Beliau meminta civitas akademika mulai menargetkan jabatan akademik tertinggi yaitu guru besar. Menurutnya, jalur menuju guru besar sekarang sangat singkat, cukup empat jenjang: asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar. Jauh berbeda dari sembilan jenjang panjang yang ditempuh pada masanya. Dorongan ini disambut hangat para undangan yang turut dihadiri oleh Ketua BPP UNU NTB Drs. H. Marindah Hadi, para pimpinan pesantren NU, dosen, tenaga kependidikan, tenaga pendukung, dan mahasiswa.
Terakhir, Rektor UNU NTB menyampaikan kilas balik perjalanan kampus ini sejak masa inisiasi tahun 2012, keluarnya izin pada Desember 2014, hingga kegiatan tri dharma perguruan tinggi baru dapat dimulai pada 2015. Rektor mengungkapkan rasa syukur mendalam karena pada Kongres Pendidikan PBNU lalu, UNU NTB, di usia yang masih sangat muda telah ditetapkan sebagai salah satu PTNU terbaik bersama UNUSIDA dan Universitas Ma’arif Lampung. Saat ini, UNU NTB telah menghasilkan sekitar 40 penelitian dari berbagai skema daerah dan nasional, dan mahasiswanya berasal dari berbagai daerah mulai dari Gorontalo, Makassar, Medan, Riau, Lampung, hingga wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Dalam satu kutipan langsungnya, beliau menyampaikan, “Ini adalah bukti dan bakti UNU NTB dalam membangun peradaban bangsa”, tutupnya.
Humas dan Informasi Publik Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat
Jl. Pendidikan No. 6, Mataram, NTB
Telp/WA: +62 851 19253878
Email : humas@ununtb.ac.id
