Ada satu momen ketika saya membuka media sosial pagi-pagi, melihat tiga politisi saling sindir, dua akun buzzer adu klaim, satu video klarifikasi baru muncul, dan satu isu lain entah muncul dari mana. Saya belum sarapan, tapi sudah kenyang drama. Rasanya seperti negara ini sedang berlomba menjadi timeline paling ramai di dunia. Politik kita berubah menjadi speaker aktif keras, repetitif, tapi belum tentu jelas.
Kita hidup di era ketika semua orang punya panggung. Politisi, buzzer, influencer politik, komentator dadakan, sampai akun anonym semuanya bicara, semuanya ingin viral. Setiap hari ada konten baru, konflik baru, dan keributan baru yang diproduksi beruntun. Ironisnya, makin banyak suara yang hadir, makin sedikit hal yang benar-benar terdengar. Substansi yang penting tenggelam di antara gemuruh konten yang dibuat demi kehebohan.
Di sinilah algoritma ikut memainkan perannya. Platform digital lebih suka hal-hal yang bikin panas, bukan yang bikin paham. Konten yang memicu amarah lebih cepat naik, sementara penjelasan kebijakan yang masuk akal malah tak sampai ke permukaan. Politik akhirnya berubah menjadi kompetisi adrenalin siapa yang paling bikin gaduh, dialah yang paling dilihat. Bukan siapa yang paling layak didengar.
Kebisingan ini bukan sekadar mengganggu; ia melelahkan. Banyak anak muda yang tadinya semangat mengikuti isu politik kini memilih menjauh. Bukan karena mereka apatis, tapi karena terlalu banyak drama yang tidak ada ujungnya. Politik terasa seperti reality show yang tidak pernah tamat. Ketika yang ditampilkan lebih banyak konflik daripada solusi, wajar jika publik akhirnya memilih menutup telinga.
Masalahnya, kebisingan membuat kita kehilangan kemampuan untuk memilah. Kita terbiasa menelan isu paling viral, bukan isu paling penting. Kita bereaksi lebih cepat daripada berpikir. Kita ikut emosi sebelum memastikan konteks. Demokrasi yang seharusnya memberi ruang dialog justru berubah menjadi ajang adu volume.
Padahal politik seharusnya bukan soal siapa yang paling ribut. Politik seharusnya memberi arah, bukan justru membuat kabur. Kita butuh jeda: ruang tenang untuk memahami isu, bukan hanya menontonnya berseliweran. Tanpa itu, kita hanya jadi penonton pasif di tengah pasar politik yang semakin sesak.
Mungkin sudah waktunya aktor politik menahan diri dari produksi konten berlebihan. Media pun perlu lebih bijak menilai mana yang layak diberi sorotan, bukan sekadar mana yang paling ramai. Dan publik, termasuk kita semua, perlu melatih literasi digital agar tidak tiap hari terseret arus kegaduhan.
Sebab demokrasi tidak dikuatkan oleh suara paling keras, tetapi oleh argumen paling jernih. Jika politik terus se-bising ini, yang hilang bukan hanya fokus kita tapi juga kesempatan kita memahami arah bangsa.
Mungkin, untuk sesaat saja, kita butuh mematikan volume. Bukan untuk mengabaikan politik, tetapi agar kita bisa kembali mendengarnya dengan benar.
Penulis: Muhammad Ikrom, Mahasiswa S1 KPI UIN MATARAM
