
Detik. Jogja – Khalid bin Walid adalah salah satu tokoh Islam populer yang terkenal dengan julukan Pedang Allah (Saifullah). Tahukah kamu bahwasanya Khalid bin Walid wafat pada bulan Ramadhan? Berikut ini kisah hidup sang Pedang Allah.
Dirujuk dari dokumen unggahan Digilib Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Khalid bin Walid adalah putra dari al-Walid bin al-Mughirah, seorang bangsawan Quraisy. Ibunya bernama Lubabah ash-Shughra binti al-Harits yang kelak memeluk Islam.
Khalid kecil lahir di Makkah bersama empat orang saudara. Keempatnya adalah Imarah bin al-Walid, Hisyam bin al-Walid, dan al-Walid bin al-Walid. Ia juga punya seorang saudari perempuan bernama Fatimah binti al-Walid bin al-Mughirah.
Penasaran dengan sepak terjang Khalid bin Walid dalam hidupnya hingga menjadi legenda Islam? Yuk, baca kisah ringkasnya yang telah detikJogja siapkan di bawah ini. Baca sampai tuntas, ya!
Khalid bin Walid Sebelum Temukan Kedamaian Islam
Sebelum memeluk Islam, Khalid bin Walid sudah terkenal dengan kepiawaiannya menunggang kuda. Di samping itu, Khalid juga menguasai ilmu-ilmu lain seperti memanah dan menggunakan pedang. Kemampuan-kemampuan inilah yang membuat Khalid bin Walid mendapat tempat penting di tengah kaum Quraisy, tentu di samping nasabnya sendiri.
Sejak kecil, Khalid sudah menguasai seni-seni perang. Ia kasar, tegas, berani, dan tak kenal takut. Dari ayahnya, Khalid bin Walid mendapat pengajaran penting mengenai strategi berperang.
Ketika Perang Uhud, Khalid masih tergabung dalam pasukan musyrik. Ia dan pasukan berkuda pimpinannya berhasil memanfaatkan kelengahan barisan pemanah Muslim yang bertugas memberi perlindungan. Akibatnya, pasukan Islam terjepit dari depan dan belakang.
Selain menjadi kunci pertempuran Uhud, Khalid bin Walid juga sempat mengikuti Perang Khandaq alias perang parit bersama barisan musyrikin. Baru setelah Perjanjian Hudaibiyah, Khalid masuk Islam atas dorongan hati sekaligus bujukan dari saudaranya, al-Walid bin al-Walid.
Kisah Khalid bin Walid Memeluk Agama Islam
Dirangkum dari buku Cahaya Abadi Muhammad SAW oleh M Fethullah Gulen, Khalid masuk Islam usai Perjanjian Hudaibiyah. Pada masa damai setelah Perjanjian Hudaibiyah diteken, Khalid banyak merenung dan berpikir.
Ia mengerti bahwasanya umat Islam mendapat ketidakadilan dalam klausul-klausul perjanjian tersebut. Khalid sadar bahwasanya orang-orang Muslim benar-benar tulus kendati diperlakukan sedemikian buruk oleh pihak Quraisy.
Hatinya semakin menguat setelah menyaksikan kembalinya orang-orang muslim untuk umrah. Menurut keterangan dari NU Online, Khalid bin Walid masuk Islam pada Safar 8 Hijriah. Ia pergi ke Madinah bersama Amr bin al-Ash dan Utsman bin Thalhah untuk menyatakan keislaman di hadapan Nabi Muhammad SAW.
Khalid bin Walid dalam Perang Mu’tah
Dirangkum dari dokumen unggahan Repository UIN Raden Fatah, Khalid bin Walid berkali-kali diamanahi sebagai panglima perang. Tidak mengherankan, latar belakang kemampuan dan sejarah pertempuran-pertempurannya yang tidak pernah kalah satu kali pun begitu mengesankan.
Setelah masuk Islam, perang pertama yang dipimpin Khalid adalah Perang Mu’tah. 3.000 pejuang Islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid bertarung habis-habisan melawan 10.000 tentara Romawi.
Mulanya, Rasulullah SAW mempercayakan bendera perang secara berurutan kepada Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Namun, ketiganya gugur menjadi syahid mempertahankan panji tersebut.
Setelah ketiganya gugur, Khalid bin Walid, atas persetujuan para pasukan, mengambil bendera tersebut dan memimpin peperangan. Perjuangannya begitu hebat sampai-sampai 9 pedang patah di tangannya.
Berkat kecerdikannya, pasukan Romawi mundur karena mengira pasukan Islam mendapat tambahan bala bantuan yang segar. Sepak terjang heroik Khalid bin Walid dalam Perang Mu’tah inilah yang kemudian membuatnya mendapat julukan Pedang Allah.
Anas bin Malik meriwayatkan sebuah hadits:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW memberitahukan kepada orang banyak tentang kematian Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah sebelum ada seorang pun yang membawa kabar kematian mereka. Nabi berkata, ‘Bendera dipegang oleh Zaid, ia terbunuh. Selanjutnya, bendera itu dipegang Ja’far sampai ia terbunuh. Selanjutnya, bendera itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah sampai ia terbunuh. Selanjutnya, bendera itu dipegang oleh salah satu daripada Pedang Allah (Khalid), sampai Allah memberikan kemenangan.” (HR Bukhari)
Setelah Perang Mu’tah, Khalid senantiasa aktif dalam perang-perang yang terjadi. Ia berpartisipasi dalam penaklukan Arab dalam perang Riddah, Pertempuran Yamamah, Penaklukan Kekaisaran Sassanid, dan lain sebagainya.
Saking ampuhnya Khalid bin Walid, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ia dicopot dari jabatannya dan diminta menjadi duta besar. Salah satu pendapat menyatakan hal ini dilakukan bukan karena Khalid sudah melemah atau berkhianat. Namun, karena sebagian umat Islam sudah mulai ‘mendewakan’-nya.
Mereka beranggapan perang yang dipimpin Khalid bin Walid pasti menang. Padahal hanya dengan seizin Allah SWT sajalah, umat Islam bisa meraih kemenangan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Wafatnya Pedang Allah, Khalid bin Walid
Berdasar penjelasan dalam buku Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad para Sahabat Nabi yang Kaya Raya oleh Ustadz Imam Mubarok bin Ali, Khalid bin Walid wafat dalam usia 60 tahun. Sosoknya begitu mendambakan syahid selama napas masih berhembus.
Khalid bin Walid diketahui meninggal dunia di Hims pada 18 Ramadhan tahun ke-21 Hijriah. Diriwayatkan dari Abu az-Zinad, menjelang ajalnya, Khalid menangis dan berkata:
“Aku telah mengikuti perang ini dan itu dengan gagah berani, hingga tidak ada sejengkal bagian pun di tubuhku, kecuali ada bekas sabetan pedang atau tusukan anak panah. Namun, mengapa aku mati di atas kasurku, tanpa bisa berbuat apa-apa, seperti halnya seekor keledai? Mata para pengecut tidak bisa terpejam.”
Ia meneruskan, “Aku telah mengejar kematian di tempatnya, tetapi aku tidak ditakdirkan untuk mati, kecuali di atas kasurku. Tak ada satu amal pun yang lebih aku harapkan setelah kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’, selain satu malam yang aku lalui dalam keadaan siaga, sementara langit mengguyurkan hujannya sampai pagi. Lantas, pada pagi harinya, kami melancarkan serangan terhadap kaum kafir.”
Khalid bin Walid hanya meninggalkan warisan berupa kuda dan senjata. Keduanya pun diinfakkan untuk digunakan dalam jihad. Ia juga menyedekahkan rumahnya dan meminta Umar bin Khattab untuk mengurus pelaksanaannya.
Ketika Umar bin Khattab mengetahui hal ini, ia berkata, “Semoga Allah SWT merahmati Abu Sulaiman (julukan Khalid bin Walid). Sesuatu yang ada di sisi Allah lebih baik baginya dari yang ada padanya. Ia telah wafat dalam keadaan bahagia dan hidup dalam keadaan terpuji. Akan tetapi, aku lihat masa tidak akan berhenti.”
Demikian kisah ringkas mengenai Khalid bin Walid, Pedang Allah yang telah berjuang menegakkan kalimat tauhid di muka Bumi. Semoga menambah wawasan detikers, ya! (par/ams)