
Herianto (Tokoh Muda)
Mataram – Forum Mahasiswa Suela (FORMALA) menggelar diskusi “Refleksi Hari Tani” pada 26 September 2025 di Kedai Coffe Pawon 29, menghadirkan Herianto S.P. sebagai narasumber utama. Diskusi ini berfokus pada tema “Menggali Kembali Makna Dari Hari Tani,” menyoroti masalah harga pupuk dan harga jual rendah komoditas petani.
Isu Kelangkaan Pupuk dan Peran Mahasiswa
Diskusi dibuka oleh Ketua FORMALA 2024-2025, Lalu Wirahadi Kusuma, yang melontarkan pertanyaan mendasar. “Petani itu sebagai penopang kehidupan, tetapi petani mengalami kendala pupuk. Apa peran mahasiswa bagi petani agar bisa sejahtera?”
Pertanyaan ini relevan mengingat alokasi pupuk bersubsidi untuk Lombok Timur pada tahun 2025 mengalami penurunan. Meskipun total ketersediaan pupuk dinilai cukup, realokasi terjadi karena rendahnya serapan oleh petani, berimbas pada pengurangan alokasi jenis pupuk tertentu seperti Urea, NPK, dan organik. Kondisi ini diperburuk bagi petani yang tidak terdaftar dalam Sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK), yang akan kesulitan mengakses pupuk subsidi.
Kecaman Keras dari Herianto S.P.
Dalam pemaparannya, Herianto S.P. mengecam praktik-praktik yang merugikan petani. Secara tegas, ia menyebut adanya “mafia pupuk di petani saat mencari pupuk subsidi,” yang membuat masyarakat petani hanya dilihat sebagai “subjek keuangan.”
Herianto menekankan pentingnya peran aktif anak muda. “Ketika anak muda berkumpul,” ia melanjutkan, solusi harus datang dari inisiatif mahasiswa. Ia mendorong agar anak muda membuat regulasi yang diusulkan ke pemerintah.
“Terkadang pemerintah tidak menjalankan (regulasi yang ada),” ujar Herianto. Oleh karena itu, ia menyerukan, “Anak muda kawal legislatif dan eksekutif.” Dengan demikian, anak muda akan berperan aktif, membawa ide-ide kreatif dan besar yang dampaknya kembali ke masyarakat dengan kebermanfaatan nyata.
Solusi Pengawasan dan Data Berbasis Kajian
Sesi tanya jawab juga menyoroti isu impor komoditas pertanian. Menanggapi salah satu peserta yang menyebut “Di negeri ini hanya ada impor baik beras, jagung, dan lain-lain,” Herianto memberikan jawaban yang menekankan perbaikan tata niaga dan pengawasan.
Adi peserta dalam acara tersebut juga menambahkan bahwa secara teknis, tata niaga sudah baik dengan adanya KPP (Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida), yang unsurnya bahkan melibatkan mahasiswa. Tugas KPP adalah menjadi “CCTV distribusi.” Namun, ia menyayangkan bahwa dalam praktik, mahasiswa seringkali “ditekan, diteror oleh distributor” agar tidak melaporkan fakta yang mereka temukan di lapangan.
Sebagai solusi dan resolusi, salah satu peserta menyarankan agar kelompok tani atau gabungan kelompok tani (Gapoktan) mengambil alih rencana dan pendidikan kelompoknya, yang selama ini dikuasai oleh distributor.
Menutup sesi, Herianto menegaskan bahwa peran mahasiswa harus didasarkan pada data dan kajian. “Kajian-kajian itulah yang kita tuangkan,” ujarnya, menyebut bahwa tindak lanjut bisa berupa audiensi yang didukung oleh data hasil kajian tersebut. Hal ini memperkuat pandangannya bahwa gerakan mahasiswa harus strategis dan berbasis bukti untuk mengawal kesejahteraan petani.