Belakangan ini media sosial ramai dengan tren “Kabur Aja Dulu.” Istilah yang awalnya cuma candaan akhirnya berubah menjadi sindiran serius terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Banyak generasi muda yang ingin meninggalkan Indonesia demi bekerja atau melanjutkan pendidikan di luar negeri. Fenomena “Kabur Aja Dulu” bukan sekedar pelarian melainkan bentuk perlawanan terhadap sistem birokrasi yang di anggap lamban, tidak akuntabel, dan seringkali gagal memenuhi harapan masyarakat.
Analisis Drone Emprit yang dikutip oleh Gisella Julianne Tolokende dan Nur Isdah Idris dalam jurnal mereka berjudul “Kabur Aja Dulu” dan Identitas Global Gen Z: Analisis Konstruktivis
dalam Hubungan Internasional, yang diterbitkan pada tahun 2025, mengungkapkan bahwa gerakan KaburAjaDulu tumbuh dari
“ketidakpuasan ekonomi, penurunan kualitas hidup, ketidakadilan sosial, dan kebijakan pemerintah yang tidak memadai”. Gejolak ekonomi menjadi penyebab utama, sulitnya lapangan kerja dan biaya hidup tinggi membuat banyak Gen Z merasa peluang lebih realistis dicari di luar negeri.
Menurut pakar keuangan Gema Goeyardi, fenomena ini bahkan mencerminkan “ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban” dalam kondisi negara saat
ini Data resmi memperkuat gambaran ini. Misalnya, Badan Pusat Statistik melaporkan lebih dari 7,47 juta orang menganggur pada Agustus 2024, termasuk 842.378 lulusan perguruan tinggi. Angka tersebut menegaskan kesulitan tenaga kerja terdidik dalam membangun karier di tanah air, sehingga ketidakpastian ekonomi dan peluang terbatas turut mendorong warga
muda untuk mencari opsi migrasi.
Kenapa Banyak yang Memilih Kabur?
Jawabannya tidak sesimpel “mental lemah” atau “tidak cinta tanah air.”
Faktanya, banyak anak muda yang merasa Gaji tidak sebanding dengan biaya hidup,
lapangan pekerjaang semakin sempit,
kebijakan ekonomi dan politik terasa tidak memihak rakyat, elit menikmati fasilitas besar, sementara rakyat disuruh tahan sabar.Banyak yang pergi karena merasa masa depannya lebih mungkin terbentuk di luar negeri daripada di negeri sendiri.
Kabur sebagai bentuk pelarian,
memang benar, buat sebagian orang menyayangkan sekali bagi warga negara Indonesia yang lebih memilih hidup di luar
negeri ketimbang hidup di negeri sendiri. ada sebagian yang berpendapat memilih hidup di luar negeri untuk mencari pekerjaan bukan berarti menyusut sikap nasionalisme. pergi ke luar negeri adalah cara lari dari tekanan. Hidup di Indonesia bikin banyak orang stres, harga kebutuhan naik, persaingan makin ketat, tapi kesempatan maju tidak merata.
Fenomena ini bukan salah individu, tapi tanda bahwa ada yang salah di sistem Pemerintahan, pemerintah perlu melakukan kebijakan seperti, menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan kesejahteraan sosial dan upah minimum, memberantas korupsi, serta memperbaiki sistem pemerintahan agar lebih transparan dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Kebijakan yang efektif dan pro-rakyat.
pergi bukan berarti berhenti mencintai Indonesia. Justru banyak yang pergi agar bisa memiliki hidup yang layak, berkembang, dan bisa kembali membawa perubahan bagi dirinya dan negeri ini. Pelarian dan perlawanan bukan sesuatu yang harus dipilih salah satunya,kadang keduanya bisa berjalan bersamaan.
Oleh: Elsya Fathiyah Rizki
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Mataram
