Penerapan Car Free Night (CFN) di Gerung, Lombok Barat, menuai beragam respons dari masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dipuji karena menghadirkan ruang publik baru yang lebih sehat, aman, dan inklusif. Namun di sisi lain, sebagian warga menilai CFN tak lepas dari upaya pencitraan pemerintah yang ingin menunjukkan kedekatan dengan masyarakat. Perdebatan ini memunculkan pertanyaan penting: apakah CFN benar-benar menjawab kebutuhan warga, atau sekadar strategi membangun citra di ruang publik?
Dalam beberapa pekan penyelenggaraannya, CFN mampu menarik perhatian warga dari berbagai usia. Anak-anak berlarian bebas di area publik tanpa khawatir dengan kendaraan yang melintas. Pedagang kecil mendapat peluang ekonomi baru berkat kerumunan pengunjung yang semakin ramai. Tentu, ini merupakan hal positif: ruang publik hidup, ekonomi mikro menggeliat, dan masyarakat punya tempat rekreasi murah meriah.
Namun, tak sedikit pula yang menganggap CFN masih bersifat seremonial. Pemerintah dinilai lebih fokus pada aspek keramaian dan liputan media ketimbang menyediakan fasilitas penunjang yang memadai. Persoalan sampah dan kemacetan di sekitar area utama masih menjadi keluhan yang terus terdengar.
Kritik lain juga muncul apakah CFN hanya hadir pada momen-momen tertentu ketika pemerintah membutuhkan sorotan? Ruang publik seharusnya bukan sekadar panggung politik, melainkan wujud kepedulian berkelanjutan terhadap kualitas hidup masyarakat. Jika CFN ingin dianggap lebih dari sekadar proyek pencitraan, maka konsistensi dan keberpihakan pada kebutuhan warga harus menjadi prioritas.
Pemerintah tentu berhak membangun citra positif itu bagian dari komunikasi publik yang sah. Namun citra yang kuat hanya akan lahir dari pelayanan yang benar-benar berdampak, bukan dari kegiatan yang hanya ramai sesaat. CFN bisa menjadi salah satu inovasi sosial yang berkelanjutan, asalkan dirancang dengan kajian yang matang, melibatkan masyarakat dalam prosesnya, serta memperhatikan aspek lingkungan, aksesibilitas, dan keberlangsungan ekonomi lokal.
Pada akhirnya, warga tidak sekadar membutuhkan acara yang meriah di akhir pekan. Mereka membutuhkan ruang publik yang benar-benar memberi manfaat: bersih, nyaman, ramah pejalan kaki, dan dapat diakses oleh semua kalangan setiap saat. Pertanyaannya kini kembali pada pemerintah: apakah CFN akan terus berkembang menjadi kebutuhan masyarakat, atau berhenti sebagai simbolis kebijakan yang gemerlap namun singkat?
Penulis: Eryn safutri Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Mataram
