Pembangunan Kantor Desa Bagu yang sudah dimulai beberapa hari lalu, setelah kantor lama ambruk pada Maret 2025, karena kondisi bangunan yang sudah rapuh dan tidak layak, kembali memunculkan satu persoalan tentang status sebagian tanah yang hingga kini masih diklaim oleh ahli waris pemilik tanah. Polemik pembangunannya muncul setelah peletakan batu pertama yang dilakukan tanpa kejelasan status tanah. Selain itu, menurut keterangan perwakilan ahli waris, pembangunan itu dilakukan tanpa adanya komunikasi atau pemberitahuan langsung kepada mereka. Bagi masyarakat, sikap pemerintah desa ini tidak hanya memicu konflik, tetapi juga menciptakan contoh buruk dalam pengelolaan aset publik.
Sejak awal, pihak keluarga pemilik sebagian tanah menegaskan bahwa klaim mereka bukan atas keseluruhan area pembangunan, melainkan hanya pada sebagian kecil tanah sekitar dua hingga tiga are, yang tercatat sebagai hak milik berdasarkan sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 27 Juni 1991. Sertifikat ini dilengkapi sampel Garuda sebagai bukti otentik. Sementara itu, dokumen yang ditunjukkan pemerintah desa berupa silsilah tanah yang tidak memiliki kekuatan pembuktian formal yang setara, dan bahkan diakui bahwa lahan tersebut pernah dipinjam.
Beberapa bukti sejarah juga memperjelas persoalan ini. Tanah seluas sekitar sepuluh are yang dibebaskan oleh pemerintahan desa terdahulu memang tidak dipersoalkan. Namun area selebihnya sekitar dua hingga tiga are, belum pernah melalui proses pembebasan. Pagar batas yang dulu dibangun sebagai penanda justru dilaporkan dibongkar oleh pemerintahan saat ini dengan alasan meminjam lahan untuk “kegiatan 17 Agustus”. Dari sinilah area tersebut perlahan kembali digunakan dalam aktivitas administratif desa.
Menurut salah satu tokoh masyarakat dalam wawancara yang saya lakukan, pembangunan fasilitas publik di atas tanah yang belum selesai statusnya berpotensi menimbulkan persoalan etis dan administratif. Ia menilai tanah yang masih disengketakan seharusnya tidak menjadi lokasi pembangunan sebelum ada kejelasan hukum.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari hasil wawancara, hingga kini belum terdapat dokumen pembuktian yang secara resmi dipublikasikan oleh pemerintah desa. Satu-satunya kekuatan yang mereka miliki adalah “penguasaan fisik”. Selain itu, peletakan batu pertama disebut berlangsung tanpa adanya pemberitahuan resmi kepada pihak keluarga.
Di tengah ketegangan ini, pemerintah kabupaten, polres, polsek, BPMD, hingga pihak kecamatan mungkin bisa menghentikan sementara seluruh pembangunan, setidaknya sampai ada musyawarah resmi antara pemerintah desa dan pemilik tanah. Jika tidak, besar kemungkinan hal ini berpotensi menimbulkan langkah hukum dari pihak keluarga jika tidak ada penyelesaian melalui musyawarah.
Dari konflik ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, desa tidak memiliki kepastian aset. Jikalau kantor desa dibangun di atas tanah orang lain, lalu apa warisan administrasi yang diberikan kepada generasi berikutnya? Kedua, kantor desa adalah simbol “rumah bersama”, dan rumah bersama tidak bisa berdiri di atas tanah yang diperebutkan.
Selama pemerintah desa belum menyelesaikan akar persoalan ini, yaitu status kepemilikan pada sebagian tanah yang masih disengketakan, maka pembangunan apapun berpotensi mengundang masalah berkepanjangan. Intinya, pemerintah desa perlu berhenti sejenak dari kegiatan pembangunan, kembali ke meja musyawarah, dan menuntaskan apa yang sejak awal terabaikan, yaitu hak pemilik tanah serta kepastian hukum pembangunan publik.
Penulis : Ananda Dwi Salsabila, Mahasiswi Prodi KPI UIN Mataram
