MATARAM-Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 memprediksi bahwa Pemilu 2024 tidak akan mudah bagi partai politik pendatang baru. Kursi DPR RI dari NTB diyakini masih akan digenggam oleh partai pemegang parlementary threshold saat ini. Sementara partai pendatang baru, ajang pertarungan mereka diyakini hanya di level DPRD kabupaten dan DPRD Provinsi.
“Masyarakat sekarang sudah semakin dewasa dalam menilai partai politik. Pemilih sudah cerdas. Pemilu 2024 akan menjadi sangat sulit bagi partai pendatang baru, apalagi untuk partai yang fakir investasi sosial,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto, di Mataram, Senin (13/2).
Mantan ekskutif Walhi NTB dua periode yang karib disapa Didu ini menegaskan, partai-partai politik pendatang baru yang percaya diri meraih dukungan dengan hanya mengandalkan nama besar dari tokohnya, hanya akan terjebak pada romantisme masa lalu, jika tidak mengimbanginya dengan kerja-kerja mesin partai yang masif dan luar biasa.
Karena itu, Didu menilai, jika kini ada partai pendatang baru di NTB yang memasang target tinggi, sebetulnya akan sangat mudah dinilai oleh publik. Sebagai sebuah wacana, hal tersebut dinilai sah-sah saja. Namun, khalayak juga sudah punya kalkulasi tersendiri, terhadap apa yang realistis dan tidak.
“Partai baru jelas membutuhkan kerja-kerja mesin partai yang benar-benar extra ordinary. Dan sudah sangat jelas, butuh sumber daya untuk memastikan hal tersebut,” imbuh Didu.
Dia menegaskan, investasi sosial menjadi pembeda yang jelas antara partai politik pendatang baru dengan partai yang telah lebih dulu eksis. Kalaupun ada investasi sosial dari partai pendatang baru, hal tersebut pastilah dimulai baru-baru ini. Sementara partai yang telah lebih dulu eksis, telah melakukannya dalam jangka waktu yang lama, dan menjangkau masyarakat yang lebih luas.
Menurut Didu, dalam konteks politik, tak akan ada investasi sosial yang sia-sia. Karena itu, partai-partai dengan tokohnya yang lebih lama dan lebih banyak berbuat untuk masyarakat, pastilah akan mendulang insentif elektoral yang lebih besar dibanding partai yang baru, apalagi bagi partai yang hanya baru mau akan melakukan investasi sosial.
Itulah sebabnya, Didu menilai, perebutan kursi DPR RI pada Pemilu 2024 tak akan banyak kejutan. Sebanyak delapan kursi DPR RI di Pulau Lombok dan tiga kursi DPR RI di Pulau Sumbawa, diyakininya masih akan digenggam partai politik yang lolos ambang batas parlemen pada pemilu termutakhir.
“Kalaupun ada pergeseran, saya kira, pergeserannya pada figur. Tapi pemilik kursi sesungguhnya masih akan milik partai yang sama,” kata Didu.
Sebagaimana diketahui, delapan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok saat ini menjadi milik Partai Gerindra, Golkar, PKS, PDIP, PPP, Demokrat, PKB, dan NasDem. Sementara tiga kursi Dapil Pulau Sumbawa milik Gerindra, PKS, dan PAN. Partai-partai tersebut adalah partai yang lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019.
“Jika kini ada 17 partai politik yang telah dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 2024, dan tidak ada penambahan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, lalu kursi yang mana lagi yang akan diambil oleh partai politik pendatang baru?” tandas Didu.
Toh, meski begitu, Didu tak ingin membunuh harapan. Apalagi jika memperhitungkan Pemilu 2024 akan didominasi pemilih muda. KPU sudah memprediksi, Pemilu serentak dua tahun mendatang itu akan ada 107 juta pemilih muda dengan rentang usia 17-40 tahun. Jumlah tersebut setara dengan 53-55 persen pemilih.
Namun begitu, partai-partai yang telah lolos ambang batas parlemen juga telah menyadari hal tersebut. Sehingga mereka juga sudah mulai menggarap para pemilih muda bukan hanya saat ini. Sehingga dalam hal yang sama, partai politik yang lama juga sudah selangkah lebih maju dibanding partai pendatang baru.
Karena itu, menurut Didu, gelanggang partai pendatang baru pada Pemilu 2024 sesunggunya bukan pada perebutan kursi DPR RI dari Dapil Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Namun, dia menilai partai baru akan banyak memberi kejutan pada level perebutan kursi DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
“Untuk partai pendatang baru, menempatkan kadernya di DPRD kabupaten/kota, atau di DPRD provinsi tentu akan menjadi sebuah cara terbaik untuk eksistensi dan menyiapkan investasi sosial yang lebih masif,” katanya.
Efek Ekor Jas
Di sisi lain, Didu juga menanggapi kemungkinan partai pendatang baru akan mendapatkan efek ekor jas atau coat-tail effect manakala mereka ikut berdiri pada barisan partai yang mencalonkan kandidat presiden yang potensial memenangi kontestasi. Apalagi, Pemilu Legislatif juga digelar berbarengan dengan Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024.
Menurut Didu, coat-tail effect selama ini memang terbukti mampu memberi kontribusi berupa insentif electoral bagi partai politik. Namun, Didu menekankan tak semua partai bisa mendapatkan hal tersebut meski mencalonkan figur yang sama di Pilpres.
Dia memberi contoh pada Pilpres 2019, dimana Joko Widodo yang merupakan kandidat yang paling poluler dan dicalonkan oleh banyak partai politik. Namun, tidak semua partai politik yang mencalonkan Jokowi tersebut mendapatkan efek ekor jas. Terbukti, empat partai politik pendukung Jokowi yakni PSI, Perindo, Hanura, dan PBB, tidak lolos parlementary threshold.
Pun begitu pada partai yang mencalonkan Prabowo Subianto sebagai presiden. Efek ekor jas jelas menjadi milik Partai Gerindra. Sementara partai pendukung lainnya kata Didu, meski mendapatkan efek, namun dipastikan efeknya sangat kecil.
“Hal yang sama masih akan terjadi dalam Pemilu 2024. Efek ekor jas, masih akan menjadi pemilik partai pengusung utama, bukan partai pendukung. Publikasi sejumlah survei sudah menunjukkan gejala tersebut,” kata Didu.
Karena itu, cara terbaik mendapatkan dukungan dari para pemilih dalam Pemilu 2024 bagi partai pendatang baru, adalah dengan menggerakkan mesin partai secara massif. Bukan sebaliknya, belum apa-apa tapi malah mempertontonkan saling sikut sesama elite partai.
“Kalau belum apa-apa sibuk berkelahi, sudah pasti ada sisi yang hilang. Dan akan menjadi celaka, jika yang hilang itu adalah bilangan yang besar,” katanya. (Tim KM Mataram)