Kira-kira 45 tahunan lalu, pertengahan tahun 1970 an ketika kelas 5/6 SD saya sudah suka nonton arong-arong jaran. Main / Barapan Jaran atau di Bima disebut Pacoa jara. Ya, pacuan kuda di lapangan Karang Jangkong. Kini sdh jadi Mataram Mall.
Saya kadang nonton pacuan kuda dari atas tembok di belakang rumah. Komplek PT Pertani. Kini sdh jadi Kantor PT Bank BTN. Atau bersama teman2 SD 2 Karang Jangkong nonton di gudang kehutanan dibaratnya kompleks Kantor PT Pertani.
Kami nonton diatas tembok. Atau ditumpukan balok2 kayu. Tapi lebih sering kami juga loncat tembok rame2. Tidak beli karcis. Waktu untuk loncat harus diperhitungkan.Yaitu, ketika kuda tdk sedang berlari. Atau, sambil intip kelengahan petugas.
Biasanya di bawah tembok ada polisi yg jaga. Juga tentara. Kami loncat lalu kabur berbaur ke tengah lapangan. Kadang dikejar sampai tengah lapangan. Pada saat petugas mengejar, pelompat berikutnya masuk. Dari pada kebobolan lbh banyak, petugas kadang tdk mengejar pelompat tembok. Lalu Yakub, tentara dari jelantik, tinggal di Asrama Tentara Gebang sering marah dan mengejar kami pelompat tembok.
Kami tentu sangat takut dikejar. Takut di gebuk kalo kedapatan. Saya kadang ikut nekad lompat bila teman lompatnya ada Lalu Komala. Lalu Komala ini putra tentara. Bapaknya, ya Lalu Yakub itu. Kalau saya di gebuk, lalu Komala juga pasti di gebuk. Itu pikiran sederhana saya saat itu. Alhamdulillah, saya sering lolos dari kejaran tentara Mamik Lalu Yakub. Atau mungkin lolos karena periak. Sengaja tidak dikejar karena larinya sama Lalu Komala itu.
Galib, putra Abah Dollah pemilik meubel indah, teman SD juga sering ikut lompat tembok. Waktu SD kami sdh hapal nama2 kuda dan pemiliknya. Ada Belang Klatir yg luar biasa kencang larinya dan selalu juara. Pemiliknya, Ninik Lalu Ketuk Mantang. Ada juga kudanya yg pintar menari. Putra Bayan namanya. Ada juga Romeo kuda galak milik Pak Camat Usman Paradiso. Mega Mendung kuda hitam besar milik Pak Gubernur kala itu. Mandala milik Pak Jamhari. Bintang Kukus dan Arba Puspa milik dokter Kosasih. Panto Datang milik Haji Amnah. Ada kuda namanya Monce Kelep. Juga ada kuda bernama Kilat yg sering nembles. Pak Lolong Karang Terune juga banyak kudanya.
Selain kuda2 hebat dari lombok, arong2 jaran akan jadi kian ramai bila datang kuda2 balap dari pulau Sumbawa. Kuda Sumbawa dan Kuda Bima terkenal gesit, cepat dan dukunnya kuat. Gempa Bumi nama kuda sumbawa yang jadi favorit kami waktu itu.
Kuda Sumbawa ini kecil tapi kalo sdh negar bisa kalahkan kuda2 yg lbh besar bahkan yg sdh sering juara di lombok. Selain larinya kenceng seperti mesin ferari, Gempa Bumi selalu kami tunggu di garis finish karena joki ciliknya luar biasa atraktif.
Waktu start, jokinya nempel diatas kuda. Lengket seperti memiliki ilmu belincek. Tangan kirinya pegang les kuda. Tangan kanannya memukul2 penjalin kecil ke tubuh si Gempa Bumi.
Jelang finish karena telah jauh tinggalkan musuhnya, sang joki cilik itu seakan menari2 diatas punggung Gempa Bumi sambil kedua tangannya memainkan cemeti kecil di tangan kiri dan kanan bergantian tanpa berpegangan ke kudanya. Luar biasa.
Galib teman Arab saya waktu SD selain Abdul Kabir ( Toko Makmur ) dan Faruk Harhara, juga gila kuda. Kalo Gempa Bumi datang lomba, dia ikuti terus kuda ini. Kalo Gempa Bumi lari, Galib ikut berlari kemana pemilik / pekatik / sandro ( dukun ) Gempa Bumi berlari di tengah lapangan. Sambil intip tingkah polahnya.
Suatu hari Galib cerita. Git, kemaren ana ambil pelepah pisang yg dibuang yg selalu dibawa dukun itu waktu Gempa Bumi lari. Ana liat, pelepah itu diputar2 diatas kepala dukun dan tiba2 waktu pelepah pisang di pukul ke tanah kok tiba2 Gempa Bumi nampak lari kesetanan. Semua kuda di salip di pengkolan timur utara dekat tembok kehutanan itu. Seakan tancap gass. Dan pasti ada kuda yg jatuh.
Ana pikir pelepah pisang ini pasti bertuah, Git. Ana ambil dan ikuti cara2 dukun gempa bumi itu. Pas lomba berikutnya, ada kuda yg ana jagokan dan doa kan spy menang. Pas di pengkolan yg biasa kuda jatuh dan Gempa Bumi selalu menyalip musuhnya, ana pukulkan pelapah pisang itu ke tanah. Eh sial, bukan kuda musuh yg tersalip dan terjatuh, malah kuda jagoan ana yang jokinya jatuh dan kalah. Sialan katanya penuh sesal.
Sambil menghiburnya, saya katakan lain kali ente belajar bahasa Sumbawa juga karena ajian2 dukun itu pake bahasa sumbawa. Oooo Iiii ya Git, kata Galib sambil tertawa.
Kini, saya jadi ingat Abah Galib di tengah ribut2 polemik tentang joki cilik. Kalaulah saya tanya Galib, dia pasti tidak setuju Joki kecil di hapus. Dia akan bela joki cilik tetap di pakai karena kuda2 kita kecil seperti Gempa Bumi itu.
Ini Anjuran Rasulullah Git. Kita harus belajar dan berani tunggang kuda dari usia dini. Juga hrs pandai memanah. Anak laki2 harus wanen. Masak harus melambai2 hanya boleh main game, selodor dan lompat tali ?
Si Galib pasti akan protes keras ke saya kalo jokinya besar2 apalagi bedel seperti dalam foto. Kalo untuk arong2 jaran agar lari kudanya kenceng yaa haruslah pakai joki cilik. Mungkin body protectornya ditambah. Pakaikan helm pengaman dll.
Kalo jokinya besar itu cocoknya untuk acara karnaval 17 Agustusan. Apalagi kalau jokinya bedel2 seperti ente, sementara kudanya kecil. Nah itu namanya tdk punya peri kehewanan. Itu kira2 argumen Abah Galib untuk tetap dukung Joki Cilik. Waa idik gamakkkk, irraeeee, aidaa. Silamoooooo…… (H.Lalu Gita Ariadi – Sekda NTB)
Bersambung !
On Air, Cgk – Upg : 17.7.2022. 15.00 wita.