Pulau Kaung merupakan salah satu pulau kecil dan sekaligus sebagai desa yang terletak di Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa. Pulau ini berdampingan dengan Pulau Bungin; olehnya itu, bila kita ingin berkunjung di desa pulau ini dapat meggunakan perahu kecil atau sampan dengan jarak tempuh sekitar lima belas menit dari Pulau Bungin.
Akan tetapi, jika kita ingin menggunakan kendaraan beroda empat atau beroda dua dapat melewati jalan darat yang telah membentang dari daratan Alas Kota ke pulau ini, yaitu dengan jarak tempuh sekitar dua puluh menit dari jalur propensi yang menuju ke Kota Sumbawa, itu pun dengan harus melewati kondisi fisik jalan yang masih berupa batu-batu krikil.
Luas Pulau Kaung adalah 8 Hektar. Jumlah penduduknya pun mencapai sekitar 3132 jiwa, yang mana jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 1046 dan jumlah penduduk perempuan berkisar 1086, dan jumlah kepala keluarga sekitar 867 orang.
Pulau kecil ini juga pada awalnya hanya berupa gundulan pasir putih yang mengeras dan berbentuk “merangkul laut”. Kata “Merangkul” jika diterjemahkan ke dalam bahasa bajo adalah “Kaung”. Itulah sebabnya pulau ini dinamakan Pulau Kaung. Dulunya, luas pulau ini hanya mampu dihuni oleh tujuh rumah panggung. Tapi karena dari tahun ke tahun banyaknya warga penduduk dari luar yang ingin menetap di tempat ini; dengan suatu alasan, yaitu ingin dekat dengan laut agar mudah melakukan aktifitas kerjanya sebagai nelayan. Mereka pun melakukan perluasan wilayah dengan sistem penimbungan batu karang untuk pembangunan rumah panggung, dan akhirnya pulau ini menjadi luas.
Dulunya juga, di pulau kecil ini tidak memiliki akses jalan yang menghubungkan dengan daratan Alas Kota. Para penduduk; termasuk anak sekolah; yang mana jika ingin pergi ke sekolah; mereka harus naik perahu jika air laut lagi naik. Terkecuali jika air lagi surut, mereka pun dapat berjalan kaki di atas hamparan pasir yang terhubung dengan pulau ini.
Atas swasembada masyarakat, yaitu sekitar tahun sembilan puluhan; sebuah jalan yang berhasil membentang dari Alas Kota menuju ke pulau ini. Hingga kini perkembangan masyarakat dalam berbagai sektor mengalami perubahan. Anak sekolah pun banyak mempergunakan kendaraan sepeda motor, para pengusaha ikan dengan mudahnya untuk menjalankan bisnisnya, begitu pun juga berbagai keperluan masyarakat setempat di desa lain atau di luar kota dapat terselesaikan dengan cepat.
Penduduk yang mendominasi di wilayah pulau kecil ini adalah penduduk yang berketurunan Sulawesi, yakni dari suku bugis dan suku makassar. Namun sebagian penduduk mengakui dirinya berasal dari suku bajo, dan juga sebagian kecil yang mengaku sebagai penduduk asli Sumbawa dan juga dari suku sasak-Lombok.
Walaupun keseluruhan penduduk yang menetap di Pulau Kaung ini terdiri dari beberapa suku, namun tetap saja mereka memiliki rasa kebersamaan atau solidaritas yang tinggi. Misalnya, dalam kegiatan pemindahan rumah (rumah panggung), mereka pun tetap bekerja sama secara gotong royong untuk mengangkatnya ke tempat tujuan.
Bentuk kerja sama Masyarakat Pulau Kaung yang lain adalah terlihat di laut, yang mana ketika melakukan aktifitasnya sebagai nelayan. Mereka saling bekerja sama di atas perahu dalam menjaring ikan di laut, begitu pun juga di daratan atau di tepi laut, para ibu-ibu atau perempuan melibakan diri untuk membantu para pelaut yang pulang membawa ikan.
Keyakinan atau kepercayaan penduduk yang ada di Pulau Kaung adalah seratus persennya menganut agama islam. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya sejumlah masjid di tiap dusun. Dalam hal ini tak satupun tempat peribadahan dari agama lain yang nampak.
Bicara tentang budaya atau adat istiadat, penduduk yang ada di Pulau Kaung ini masih menunjukkan nila-nilai budaya yang mengarah pada daerah bugis-makassar. Mengingat penduduk yang ada di wilayah ini moyangnya rata-rata dari bugis-makassar. Pada tiap tahunnya pun mereka juga mengenal kegiatan “nyelamat laut”, seperti yang sering dilakukan di Tanjung Luar-Lombok Timur. Rumah asli penduduk yang ada di sini pun juga masih mengikuti rumah perkampungan penduduk yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu rumah panggung. Pada acara perkawinan pun masih mempergunakan ada perkawinan bugis- makassar. Misalkan dalam sistem perkawinan, yang mana pihak laki-laki mempergunakan sistem melamar pada perempuan atau calon pengantin perempuan. Begitu pun juga masalah pakaian adat, juga masih menonjolkan pakaian ala bugis-makassar, seperti “lipa sabbe” (sarung sutra) dan baju bodo untuk perempuan (baju adat yang kainnya sangat tipis dan tembus pandang.
Bentuk budaya lain yang masih sering ditonjolkan di Pulau Kaung ini adalah cara memasak ikan laut ala bugis-makassar. Misalnya masakan “Pallu Mara”, yaitu ikan laut dimasak dengan mempergunakan bumbu asam jawa, kunyit, garam dan petsin secukupnya.
Bahasa yang dipergunakan di pulau ini adalah didominasi oleh bahasa bajo, namun sebagian mempergunakan bahasa bugis dan bahasa makassar. Selain itu, untuk kalangan anak-anak atau penduduk luar yang datang di wilayah ini terkadang mempergunakan bahasa Indonesia.
Suatu keunikan yang dapat ditemukan di pulau kecil ini adalah bentuk tradisi yang mirip dengan apa yang ada di pulau seberang, yaitu Pulau Bungin. Dalam hal ini adalah ketika ingin membangun rumah, penduduk yang ada di sini diharuskan untuk mengumpulkan batu karang dari laut untuk menimbun di tepi laut. Di atas timbunan batu karang inilah nanti akan membangun rumah panggung. Diketahui bahwa tradisi masyarakat setempat dalam mengumpulkan batu karang untuk sebagai lahan pembuatan rumah panggung juga diwajibkan pada calon pengantin yang akan menjalain bahtera hidupnya.
Keunikan lain yang dapat ditemukan di pulau ini adalah kambing-kambing yang hidup di sini tidak makan tumbuhan. Tapi mereka pun makan kertas atau sisa-sisa makanan yang dapat ditemukan di tempat sampah. Atau pun terkadang kambing-kambing tersebut menyolong beras pada rumah warga yang kebetulan terbuka pintunya. Hal ini dapat terjadi karena di wilayah desa pulau ini sangat kurang tumbuh-tumbuhan untuk dikomsumsi oleh kambing.
Suatu bentuk keindahan yang dapat dinikmati di desa nelayan ini adalah takala kita menelusuri jalan yang mengarah ke pulau ini, yang mana di sepanjang kiri kanan jalan terdapat rimbunan pohon magrove yang tumbuh dengan suburnya. Terlebih jika kita memandang ke arah perkampungan penduduk yang ada di desa ini, nampak deretan rumah panggung yan bertengger di atas batu karang dan dikelilingi oleh air laut yang tenang.
Keindahan lain yang dapat dijumpai di desa pulau ini adalah pada wilayah ujung barat, kita dapat menjelajah di tepi pantai yang berpasir putih. Jenis pasir di Pantai Kaung ini mirip dengan pasir pantai yang ada di pantai Kute Lombok Tengah, yaitu berbentuk butiran merica.
Bila kita melanjukan penjelajahan ke arah selatan, kita pun dapat bertemu dengan sejumlah pohon kelapa yang menutupi areal pantai, sehingga hati kita terasa sejuk. Terlebih bila kita duduk di bawah pohon kelapa sambil memandang ke arah laut, panorama laut yang membiru dapat memanjakan mata. Loakasi ini pun telah menjadi kawasan wisata bagi penduduk sekitar.
Penduduk yang ada di Pulau Kaung terkenal dengan penghasil ikan, baik ikan basah maupun ikan kering (ikan bajo). Para penduduk nelayan di sini menjualnya pada juragam ikan atau ke berbagai pasar-pasar terdekat. Namun sebagian nelayan menjual di sekitar rumahnya, baik dalam kondisi yang masih basah, atau pun yang sudah kering, bahkan ikan bakar pun dapat kita temui di tempat ini. Olehnya itu, bila anda berkunjung di tempat ini dapat membawa pulang oleh-oleh berupa ikan basah, ikan kering atau ikan bakar.
Oleh-oleh buat di rumah bila berkunjung di desa pulau ini bukan hanya berupa ikan. Tapi sebagian kecil penduduk yang ada di wilayah ini telah menunjukkan kreatifiatasnya, yaitu dengan mengumpulkan kulit-kulit kerang dari dalam laut untuk dijadikan seni kerajinan tangan. Seperti kulit kerang mutiara atau kulit hewan laut lainnya yang dapat dirubah menjadi kalung, cincin, anting, dan gelang. Perhiasan dinding kamar atau ruangan pun juga tersedia di desa ini, yang mana bahan dasarnya dari tumbuhan laut, seperti akar bahari, pohon cemara laut, pohon akar buaya, dan berbagai jenis tumbuhan dari dalam laut yang dapat diolah menjadi aksesoris. Bahan dasar lain dari laut yang sering dirubah menjadi perhiasan di wilayah ini adalah ekor ikan pari, kulit penyu, dan ulang ikan hiu.
Bagi anda yang sempat berkunjung di Pulau Kaung dan ingin membawa oleh-oleh berupa aksesoris atau perhiasan rumah tangga, anda dapat berkunjung di rumah Pak Tarsila. Pak Tarsila adalah salah seorang pengrajin seni yang terkenal di pulau ini dan banyak memanfaatkan sampah laut dalam berbagai bentuk kerajinan seni. Di dalam rumahnya pun tersedia dan terpampan sejumlah hasil kreatifias seninya yang lumayan bagus. Hasil karyanya pun banyak diminati dan dipakai oleh masyarakat Sumbawa, Lombok, Bali, bahkan sampai di luar negeri.
Pengrajin seni lain yang anda bisa temui bila berkunjung di Pulau Kaung adalah Sariah. Hanya usaha Sariah lebih terfokus pada pengolahan limbah laut berupa akar bahar untuk dijadikan gelang, mainan kalung dan perhiasan berupa bunga yang dapat ditaruh di atas meja atau di tempel pada dinding ruangan.
Ibu fatimah juga adalah salah seorang pengrajin seni yang banyak memanfaakan akar bahar dan kerang mutiara dari laut. Nama Ibu fatimah pun sangat dikenal oleh penduduk yang ada di pulau ini.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa Pulau Kaung merupakan salah satu pulau kecil yang telah menjadi sebuah desa dan sumber mata pencaharian utamanya adalah nelayan. Namun, sebagian kecil warga penduduk mengasah keterampilannya, yaitu dengan memanfaatkan limbah laut untuk dijadikan karya seni dan tentu menambah kekayaan budaya bangsa. Selain itu, penduduk Pulau Kaung dihuni oleh beberapa suku, namun tetap mempertahankan asas kebersamaan.