Berkembangnya Pulau Bungin

Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki 280 Pulau, termasuk pulau-pulau ternama yang sering dikunjungi oleh para wisatawan. Salah satu pulau yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu Pulau Bungin, dan merupakan bagian dari 280 Pulau yang ada di Nusa Tenggara Barat. Pulau nelayan ini merupakan sebuah desa nelayan yang dihuni oleh suku Bajo, dan jumlah penduduknya sangat padat sehingga tidak seimbang dengan luas wilayah hunian.

Pulau Bungin merupakan salah satu pulau yang terletak di Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Pengakuan warga setempat, asal terbentuknya pulau ini adalah diawali dengan ditemukannya sebuah gundukan pasir berupa daratan yang muncul di permukaan laut, yaitu didekat Kecamatan Alas Sumbawa. Kemunculan sebuah daratan kecil di atas permukaan laut disebut “Bungin” dalam bahasa Bajo. Akhirnya daratan itu dinamakan Bungin.

Informasi dari warga setempat bahwa pada zaman dulu yaitu seorang pelaut asal Sulawesi Selatan menemukan daratan kecil tersebut, akhirnya membangun sebuah mushollah di atas daratan kecil itu yang luasnya hanya berkisar 7 X 8 meter. Adapun ukuran mushollah yang dibangun pada waktu itu adalah hanya berukuran 4 X 5 meter persegi. Mushollah atau masjid kecil itu pun diberi nama “Masjid Bungin”.

Keberadaan masjid kecil di atas daratan kecil tersebut , akhirnya seorang nelayan bugis lagi mendirikan sebuah rumah panggung di dekat masjid kecil itu. Bangunan rumah panggung tersebut diawali dengan mengumpulkan batu karang dari laut untuk dijadikan sebagai timbunan di tepi lokasi masjid kecil itu. Di atas timbunan batu karang itulah dibangun sebuah rumah panggung. Pada saat itu, yang mana ketika seorang nelayan yang akan mampir di masjid kecil itu, ia pun selalu mengatakan mampir di pulau bungin, sehingga lokasi ini sangat familiar dengan sebutan Pulau Bungin.

Dari dan tahun ke tahun, pulau ini selalu mengalami perkembangan, baik dari aspek fisik maupun aspek non fisik. Dari aspek fisik dimana masyarakat setempat selalu bergeliat untuk melakukan perluasan wilayah, yang mana dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk yang selalu mengalami peningkatan. Sampai kini, luas wilayah Pulau Bungin sudah mencapai sekitar tujuh hektar. Berdasarkan data statitik dari Kantor Desa Puau Bungin bahwa seiring dengan perluasan wilayah tersebut yang mana jumlah penduduknya pun semakin meningkat. Kepadatan penduduk di wilayah ini sudah mencapai 14.133 jiwa/km persegi. Hal ini sudah menunjukkan tidak adanya keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lokasi pemukiman. Hal ini pula menjadikan Pulau Bungin terkenal sebagai “Pulau Terpadat Di Dunia”.

Sofyan (60 th) adalah salah seorang mantan Kepala Desa Pulau Bungin mengatakan bahwa sangat berbeda pada sebelum tahun 2000, yang mana perkembangan masyarakat di desa pulau ini masih sangat tertinggal, terutama dalam aspek pendidikan dan perekonomian. Dari hal ini dapat dipahami bahwa pengembangan Pulau Bungin tentu memiliki suatu proses yang yang cukup unik untuk dikaji, terlebih jika dilihat dari letak gegrafisnya yang berada di tengah laut dan sangat terpencil.
Berangkat dari hal tersebut di atas, dapat diceritakan tentang proses pengembangan masyarakat yang terjadi di Desa Pulau Bungin, dan juga tentang proses perluasan wilayah serta pertumbuhan penduduk di wilayah ini.

Pulau Bungin Bungin adalah suatu pulau kecil yang memiliki suatu keuinikan. Salah satu keunikan yang mengangkat nama pulau ini di kalangan wisata yaitu sebuah tradisi untuk mengumpulakan batu karang dari laut. Bentuk tradisi tersebut sangat dihargai oleh warga setempat sehingga berlangsung secara bergeneras ke generasi selanjutnya.

Tradisi mengumpulkan batu karang dari laut berlangsung disaat seseorang warga penduduk yang akan membangun sebuah rumah tangga atau melangsungkan pernikahan, yang mana pada pihak laki-laki diwajibkan untuk mengumpulkan sejumlah batu karang dari laut, baik itu pihak laki-laki berasal dari Pulau Bungin sendiri maupun berasal dari pihak luar pulau. Kumpulan dari batu karang tersebut akan dijadikan sebagai bahan timbunan di tepi laut, dan timbunan tersebut akan menjadi tempat didirikannya sebuah rumah panggung, dan menjadi tempat tinggal mereka kelak dalam membina rumah tangga yang baru.

Terkait dengan hal di atas, beberapa warga setempat yang ada di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa menyampaikan bahwa suatu alasan bahwa lokasi atau lahan untuk membangun rumah di Pulau Bungin sama sekali tidak ada, akhirnya bagi warga penduduk yang akan membangun rumah baru terpaksa harus memperluas wilayah pulau ini yaitu menggunakan tepi laut dengan catatan menimbunnya dengan batu karang yang diambil atau dikumpulkan dari dalam laut.

Proses perluasan wilayah dengan proses pengembangan masyarakat Suku Bajo yang ada di Desa Puau Bungin tampak signifikan. Dari pengamatan dan hasil wawancara bahwa dengan terjadinya perluasan wilayah yang selain dipicu oleh keinginan beberapa nelayan Suku Bajo Sulawesi Selatan yang ingin bertempat tinggal di pulau kecil ini, adalah juga karena laju pertumbuhan penduduk sehingga terjadi tradisi pengumpulan batu karang dari laut. Namun dari pertumbuhan penduduk tersebut tentu mempengaruhi warga setempat untuk mengebangkan aktifitas sosial mereka sendiri. Hanya saja mereka merasa sangat terkendala oleh faktor interaksi sosial dengan desa-desa lain yang ada di Kecamatan Alas. Hal ini disebabkan karena Desa Pulau Bungin pada awalnya berada di tengah laut, dan untuk berkunjung dan atau keluar dari pulau kecil ini yaitu harus menggunakan alat transportasi laut berupa perahu atau sampan. Namun, stabilitas ombak tidaklah selamanya akan bersahabat sehingga untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat yang ada di desa pulau ini tidaklah dengan begitu muda. Tentu dalam hal ini juga merupakan suatu tantangan bagi warga setempat dalam membangun wilayah mereka.

Dalam mencapai pembangunan wilayah atau pengembangan wilayah di sutu desa seperti di Desa Pulau Bungin, tentu tentu tidak akan mungkin tercapai jikalau warga kelompok masyarakat tidak mimiliki solidaritas yang tinggi untuk membangun wilayahnya sendiri. Dari pengamatan yang ada, bahwa pengembangan masyarakat atau perubahan sosial akan cepat terjadi jikalau perubahan masyarakat dari solidaritas mekanik menuju solidaritas organik, yang ditandai dengan adanya pembagian kerja. Selain itu, solidaritas mekanik ditandai dengan kondisi masyarakat yang masih sederhana, pembagian kerja sederhana, dan masih bersifat kekeluargaan.

Berdasarkan solidaritas mekanik yang ditandai dengan kondisi masyarakat yang masih sederhana, pembagian kerja sederhana, dan masih bersifat kekeluargaan sehingga sebuah kelompok sosial mampu mengalami perubahan sosial secara progressif, Desa Pulau Bungin pun telah berproses dalam mengembangkan diri atau membangun wilayahnya, baik secara fisik maupun secara non fisik. Mereka pun saling bekerja sama utuk membangun wilayah mereka dengan didasari rasa solidaritasyang tinggi, azas kekeluargaan, pembagian kerja, bahkan terjadi secara swasembada masyarakat atau secara sukarela.

Tekait dengan hal tersebut, Sofyan (60 tahun) seorang warga Desa Pulau Bungin, yang juga selaku mantan Kepala Desa Pulau Bungin bertutur bahwa dahulu yaitu sebelum tahun 2000, yang mana ketika orang-orang akan berkunjung ke Pulau Bungin harus menyeberang di atas laut dari daratan Alas dengan menggunakan perahu sampan. Beda dengan sekarang, para pengunjug tidak perlu lagi menggunakan perahu sampan. Mereka dapat menikmati perjalanan dengan melewati jalan darat yang melintas di atas laut (infrasrtruktur jalan) hingga menemukan Pulau Bungin. Jalan yang melintas di atas laut tersebut adalah berkat usaha kerjasama dan perjuangan masyarakat Pulau Bungin sendiri yang didasari oleh rasa kekeluargaan yang tinggi, solidaritas sehingga penduduk yang ada di pulau ini banyak mengalami perubahan sosial, khususnya perubahan sosial di sektor ekonomi dan di sektor pendidikan.

Sofyan bertutur bahwa ketika belum terbangunnya jalan darat yang melintas di atas laut, tingkat pendidikan di Pulau Bungin masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh alat transportasi laut yag kurang menjamin. “Terkadang jika ombak laut lagi naik, sampan-sampan yang biasanya mengantar jemput anak-anak sekolah ke desa seberang yaitu ke Alas mengalami keterlambatan. Sementara pada saat itu, pihak sekolah memiliki peraturan yang ketat bahwa jika seorang siswa yang sering terlambat berarti akan dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, dalam kondisi cuaca buruk, terkadang anak-anak sekolah terlambat pulang ke rumahnya, yaitu ke Pulau Bungin. Mereka terkadang pulang pada waktu malam, sehingga para orang tua siswa kuatir akan keberadaan anaknya di tengah jalan. Hal inilah yang merupakan suatu faktor sehingga terjadinya putus sekolah,” ujar Sofyan mengenang kondisi pendidikan anak sekolah di Desa Pulau Bungin, yaitu disaat belum terbangunnya infrastruktur jalan yang menghubungkan daratan Alas Sumbawa dengan Pulau Bungin.

Pada tahun 2000, ketika Pulau Bungin dihubungkan oleh sebuah lintasan jalan darat yang membentang di atas laut dengan Alas Sunbawa, kondisi masyarakat yang ada di desa nelayan ini mangalami perkembangan dalam hal pendidikan. Beberapa sekolah telah terbangun, yakni satu PAUD, satu TK, dua SD, dan satu SMP. Akan tetapi, untuk tingkat SLTA, anak-anak yang ada di desa pulau ini harus melanjutkan jenjang pendidikan mereka ke desa seberang, namun mereka tetap bolak-balik dari rumah mereka dengan melewati jalan lintas darat yang terbentang di atas laut.

Baim (50 th) yang juga selaku warga setempat Pulau Bungin menyampaikan bahwa dampak lain yang dirasakan oleh warga masyarakat Pulau Bungin di saat terbangunnya infrastruktur jalan yang melintas di atas laut adalah kebutuhan akan sarana yang bersentuhan langsung dengan aktifitas keseharian mereka. Pemenuhan komsumsi air bersih telah dirasakan oleh setiap warga setempat, pengadaan listrik masuk desa telah terwujud dengan memanfaatkan sepanjang lintas jalan darat di atas laut sebagai tempat untuk mematok tiang-tiang listrik.

Selain itu, Abdul Samad (28 th) selaku warga setempat bertutur bahwa sebagai desa nelayan, para nelayan Bungin mengalami sistem pemasaran pada hasil tangkapan mereka. “Dulu nelayan-nelayan yang ada di pulau ini harus menunggu perahu juragam ikan dari luar, ataupun mereka yang langsung membawa di tempat pelelangan ikan terdekat. Tapi setelah adanya infrastruktur jalan yang melintas di atas laut, kebanyakan nelayan hanya menunggu kedatangan mobil untuk menyerahkan hasil tangkapan ikan mereka yang lalu kemudian di bawa ke berbagai pasar atau di warung makan. Namun tetap saja masih ada sebagian nelayan yang menggunakan perahu untuk mengantar hasil tangkapan ikan mereka di berbagai tempat tujuan.”

Dalam pengembangannya yaitu setelah munculnya jalan lintas darat di atas laut, pola interaksi masyarakat yang ada di Pulau Bungin bukan hanya terwujud dalam hal perikanan laut. Ragam jenis usaha ekomi masyarakat perlahan muncul, seperti bangunan toko untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari masyarakat setempat, usaha jasah intenet, rumah makan, demikian juga dengan keleluasan pedagang keliling dari luar untuk mencari rezeki di pulau ini.

Dari gambaran di atas dapat pula dikatakan bahwa proses pengembangan Desa Pulau Bungin tentu tidak akan mencapai suatu hasil jikalau tidak melalui suatu gerakan yang dinamakan pengembangan masyarakat (community development) sebagaimana rumusan konsep Brokensha dan Hodge dalam Adi (2003:200) bahwa pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. Dalam hal ini, ini yang mana Munandar (28 th) yang selaku warga setempat mengatakan bahwa warga masyarakat Suku Bajo yang ada di Desa Pulau Bungin mampu menjawab suatu tantangan untuk melakukan suatu perubahan sosial secara progressif yaitu dengan melalui sistem pembagian kerja, rasa solidaritas yang tinggi atau kekeluargaan, dan saling bahu-membahu.

Terkait dengan hal di atas, Baim yang selaku warga setemat menyampaikan, “Pada saat berlangsungnya pembangunan jalan darat diatas laut, warga di sini saling membahu dan saling membantu. Mereka pun saling mengeluarkan uang demi untuk tercapainya tujuan dari desa ini yaitu berhasinya jalanan darat yang membentang di atas laut.” Ungkap Baim.

Demikian juga Abdul Samad mengatakan bahwa, “Proses pembangunan jalanan darat di atas laut yang mana memakan waktu cuku lama itu tidak mungkin akan tercapa tanpa ada kesadaran dan partisipasi warga setempat.” Begitu pula Sofyan yang selaku mantan Keala Desa Pulau menyanmpaikan bahwa “Atas dasar pembagian kerja dan yang didasari rasa keelurgaan, di mana pembangunan jalan darat di pulau ini, yang sebagai salah satu tombak untuk mengembankan pulau ini. Dan Alhamdulillah dengan terwujudnya pembangunan jalan tersebut, sector-sektor lain pun tuut terbangun, seperti sector pendidikan, perdagangan, pemenuhan kebutuhan iar bersih, bahkan Listrik jugasudah masuk. Pokoknya banyak aktfitas bisnis yang bekembang setelah adanya interaksi dengan desa-desa lain, dan itu berkat adanya bentuk kekerjasamaan dari kami yaitu dengan membuat jembatan atau jalanan darat yang dapat dilalui oleh warga luar dan warga setempat.”uncap Sofyan.

Dari pengamatan yang ada, bahwa warga masyarakat Desa Pulau Bungin adalah warga masyarakat yang berketutunan Suku Bajo, yang mana memiliki sifat kekeluargaan dan rasa solidaritas yang tinggi. Selain itu mereka pun memiliki bentuk pekerjaan yang sama yaitu sebagai nelayan. Idrus Abustam mengatakan bahwa pada suatu kelmpok sosial atau masyarakat, yang mana ketika memiliki profesi atau jendi pekerjaan yang sama akan memngkinkan untuk terciptanya rasa solidaritas yang tinggi. Idrus Abustamtam juga mengatakan bahwa pada kelompok sosial yang emiliki jenis etnis yang sama akan memudahkan untuk tercapainya suatu sifat kekerjasamaan yang tinggi. Dalam hal ini, warga masyarakat Suku Bajo yang ada di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa yang mana memiliki sumber mata pencaharian yang sama yaitu dari rahim laut atau bekerja sebagai nelayan, berarti mereka memiliki profesi atau jenis pekerjaan yang sama. Adanya jenis pekerjaan yang sama yang mana tentu akan memudahkan untuk terciptanya rasa persaudaraan atau bentuk kekerjasamaan yang tinggi. Hal ini dibuktikan yang mana ketika warga masyarakat Suku Bajo di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa saling bahu-membahu dalam mengebangkan wilayah mereka, baik dengan terbangunnya infrastruktur jalan darat di atas laut, maupun dengan bentuk kekerjasamaan yang lain dalam meningkatkan perekonomian mereka, ataupun dalam bentuk perikanan, keagamaan, politik, dalan lain-lain.

Terlepas dari kesanggupan warga masyarakat Suku Bajo yang ada di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa dalam mengembangkan diri di sektor pendidikan dan perekonomian, desa pulau ini juga menyimpan suatu keunikan tersendiri. Keunikan pulau ini tampak pada hewan piaraan, yaitu ditemukannya komunitas hewan piaraan berupa kambing yang bertahan hidup walaupun tidak ada tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanannya. Hewan piaraan di pulau ini hanya mengkomsumsi berbagai jenis sampah, seperti kertas atau kain yang tergeletak di berbagai sudut-sudut jalan. Selain itu, prilaku kambing di pulau ini sungguh meresanhkan pada warga sekitar, sebab apabila kambing-kambing tersebut menemukan kardus di dalam kios atau jemuran pakaian, mereka pun langsung menyolongnya. Namuan kesemuanya ini memberi keuntungan bagi warga masyarakat Pulau Bungin sebab dengan keunikan yang tersimpan di pulau ini tentu mampu mempengaruhi orang luar untuk berkunjung.

Berkat kunjungan orang-orang luar tersebut dengan melewati jalan lintas di atas laut, yang mana tentu pula dapat mengenal keunikan atau sisi kehidupan masyarakat Pulau Bungin sehingga menjadi media pada orang-orang lain, bahkan dapat memberi pemasukan devisa kepada masyarakat setempat, entah itu dengan menikmati makanan khas yang ada di Pulau Bungin, atau berbelanja di sebuah warung, atau pun dengan membeli oleh-oleh khas yang disediakan oleh warga masyarakat setempat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya pegembangan pada masyarakat Suku Bajo yang ada di Desa Pulau Bungin Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa adalah karena didasari oleh sifat kekeluargaan yang tinggi, nilai solidaritas yang tinggi, dan pembagian kerja yang merata. Selain itu, atas dasar perluasan wilayah yang beriringan dengan laju pertumbhan penduduk, mereka pun didesak oleh suatu kebutuhan, baik kebutuhan berupa lahan untuk membangun rumah, maupun kebutuhan dari aspek lain seperti pendidikan dan pemenuhan kebutuahn lainya. Namun, jika dikaitkan dengan kondisi geografis Pulau Bungin yang letaknya jauh dari desa-desa lain, tentu mereka sulit untuk memenuhi berbagai kebutuhan atau harapan-harapan mereka dari berbagai aspek kehidupan fisik dan sosial. Sebab untuk melakukan interaksi dengan pihak desa luar, warga setempat harus mempergunakan alat transportasi laut yang berupa perahu atau sampan, sementara sementara kondisi air laut atau cuaca di laut tidak selamanya bersahabat. Hal ini inilah yang memicu semangat mereka untuk saling berpikr dan bekerjasama agar mereka dapat bertindak secara swasembada untuk membangun sebuah jalan lintas darat di atas laut yang menghubungkan dengan pusat ibu kota dari Kecamatan Alas Sumbawa.

Setelah warga masyarakat Desa ulau Bungin berhasil membangun jembatan atau jalan litas darat yang membentang di atas laut, mereka dapat merasakan pengembangan seperti terbangunnya sarana dan prasarana pendidikan, perekonomian, alat tarnsprotasi yang berupa kendaraan darat, dan berbagai usaha perdagangan yang dapat dikembangkan, baik dengan usaha yang dikaitkan dengan hasil laut, maupun yang berupa usaha perdagangan lainnya.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *